Nikah
menjadi momen sakral bagi setiap orang. Itu sebab sedikit sekali nyali pemuda
yang berani melangkah tanpa persiapan matang. Kebanyakan mereka yang belum
nikah terus mempersiapkan diri dari berbagai kepentingan pernikahan. Hal utama
yang menjadi beban pemuda adalah mahar, terutama bagi mereka yang ada di Aceh.
Persoalan
mahar bagi pemuda Aceh seperti hantu berwujud emas. Mahar dalam pernikahan adat
Aceh bisa diakatakan super mencekak pemuda tertentu, dan mungkin enteng bagi
sebagian pemuda. Penulis kerap melakukan survei kecil-kecilan, kebanyakan pria
yang masih berstatus single memberikan jawaban unik, yakni terkendala pada
mahar. Kondisi ini mendongkrak pemuda supaya lebih giat bekerja dan
mengumpulkan harta untuk modal nikah.
Pian,
pemuda kampung yang tinggal di sebelah utara Kabupaten Aceh Besar. Sejak setahun silam ia
berkeinginan menikahi wanita yang tak jauh dari rumahnya. Ikatan tunangan telah
tersemat antara keduanya. Namun saat ini tabungannya hanya ada enam juta rupiah, bila
diemaskan mungkin hanya bisa mengantongi empat mayam dalam kadar emas Aceh (2023 hanya dapat 2 mayam).
Masih jauh dari perjanjian jumlah mahar saat khitbah, yakni 12 mayam.
Ia memang
pekerja serabutan, bekerja asal halal dan tak mengandalkan ijazah, sebab pemuda
kulit langsat itu cuma tamatan SMA. Nilai agama yang tertanam di jiwanya cukup
menyelamatkan kehormatannya. Saya sempatkan bertanya di sela-sela kesibukkannya
mencari hewan kurban di pasar hewan sekitaran Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh. Dengan langkah pasti
dan rasa enggan, saya beranikan diri bertanya pada pemuda asing tersebut. Setelah
basa basi untuk perkenalan diri, saya coba gali informasi lain darinya.
“Apa
keinginanmu ke depan?".
Sepertinya
sulit ia ungkapkan. Terdengar bisikan halus di mulut Pian, “Sejujurnya aku
hendak menikah, tapi biaya masih minim. Tapi untuk saat ini aku ingin berkurban
saja. Hari raya haji/Idul Adha pun tinggal menghitung hari.”
"Bagaimana
engkau berkurban sedangkan tabunganmu tak ingin engkau gunakan kecuali untuk
modal nikah?"
Nikah itu
ibadah, kurban juga ibadah. Melakukan ibadah yang di depan mata jauh lebih baik
dibanding ibadah yang masih dalam angan-angan. Allah selalu mengharapkan apa
yang paling dicintai oleh hambanya, sebab dengan mengorbankan apa yang kita
cintai menjadi bukti bahwa Allah lah yang paling kita cintai. Sejalan dengan pesan nabi, belum beriman seorang kamu sebelum mencintai Allah lebih dari segalanya.
Dengan
penuh keyakinan, ia alihkan tabungan yang ada untuk membeli hewan kurban
seadanya. Enam jutaan rupiah, mungkin akan cukup memperoleh seekor kambing jantan walau
masih ada kelebihan. Kini Pian positif ingin berkurban tahun 1438 H. Kambing
yang akan dikurban telah dipesan. Tinggal menanti hari penyembelihan beberap
hari lagi.
Saya
kembali bertanya. “Bila engkau gunakan uang modal nikah, pasti akan butuh waktu
lama untuk mengumpulkan kembali?”
Bagi
orang yang ragu dengan rezeki Allah mungkin akan menganggap lama. Tapi seorang
yang percaya rezeki ada di tangan Tuhan, ia tidak pernah ragukan itu. Rizekimu
adalah apa yang engkau makan saat ini. Bila esok engkau mati, maka hartamu jadi
rezeki orang lain, bisa jadi rezeki para ahli waris, jelas Pian.
Saya pun
terdiam, dan mengiyakan ucapannya.
"Semoga
Allah membalas yang setimpal", besit saya dalam hati.
"Apa
calon isterimu tahu tindakanmu ini?"
"Justru
ia selalu mengingatkanku untuk berkurban walau sekali saja seumur hidup," sebutnya halus.
Untuk
kedua kalinya saya terdiam dengan jawabannya. Dengan mata berkunang-kunang saya
memperhatikan Pian pergi meninggalkan pasar.
*Abu Teuming. Penulis adalah penerima penghargaan pada lomba cerpen di Konferensi Nahdatul Ulama Cabang Maroko tahun 2016. Dan salah satu penulis buku antologi “Sepenggal Cerita di Lorong Pesantren”, Penyuluh Agama Islam, Penyuluh Informasi Publik (PIP), Wakil Ketua Forum Aceh Menulis (FAMe) dan Juru Bicara Rengsa.id
Bidadari surga
ReplyDelete