1. Tempat Lahir
Abu Lueng Ie memiliki nama lengkap Tgk. H. Teuku Usman Bin Tgk.
Teuku Muhammad Ali. Lueng Ie merupakan nama laqab, tempat ia tinggal,
yakni Kampong Lueng Ie, yang berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Dahulu masih berada
di bawah naungan Kota Banda Aceh. Abu Lueng Ie berasal dari golongan uleebalang, istilah lain ampon.
Sebab itu, gurunya, Abuya Muda Waly sering memanggilnya dengan sapaan ampon.
Selain dikenal dengan nama Abu Lueng Ie, ia juga populer dengan panggilan Abu Usman Al-Fauzi. Al-Fauzi merupakan laqab yang diberikan oleh
Abuya Muda Waly. Al-Fauzi dimaknai oleh abuya sebagai orang yang kuat
menghadapi cobaan dan tantangan. Dalam pandangan Abuya Muda Waly, Abu Lueng Ie pantas
menyemat laqab tersebut, sebab ia berhasil melewati bermacam tantangan
hidup, terutama ketika masih belajar di Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Abu Lueng Ie lahir pada tahun 1919 di Cot Cut, seputaran Cot Iri, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Ia meninggal pada tahun 1992 di Banda Aceh. Artinya Abu Lueng Ie hidup
selama 72 tahun. Ayahnya bernama Tgk. Teuku Muhammad Ali. Namun masyarakat
mengenal dengan sebutan Teuku Nyak Ali.
Teuku Nyak Ali memiliki dua istri. Pertama bernama Nyak Dhien.
Pernikahan ini dikaruniakan lima orang anak. Di antaranya;
1. Nyak Intan
2. Usman Al-Fauzi (Abu Lueng Ie)
3. Cut Mehram Dani
4. Cut Andariah
5. Cut Asmarati
Semuanya sudah meninggal dunia. Abu Lueng Ie anak kedua dari istri
pertama. Sedangkan istri kedua Teuku Nyak Ali, juga bernama Nyak Dhien, yang
dinikahkan di Cot Blahdeuh, masih dalam kawasan Lam Ateuk. Dari istri kedua
dikaruniakan lima anak. Di antaranya;
1.
T. Amad
2.
Cut Ainon
3.
Cut Hairan
4.
Cut Malawati
5.
Rukaiyah
Teuku Nyak Ali hanya memiliki dua anak laki-laki dari dua istri.
Abu Lueng Ie anak laki-laki paling tua. Sedangkan T. Ahmad adik Abu Lueng Ie
dari ibu tirinya. Abu Lueng Ie dan T. Ahmad sama-sama memiliki pendidikan
tinggi, khususnya pendidikan formal. Namun pendidikan Abu Lueng Ie jauh lebih
tinggi ketimbang adik, khususnya pendidikan agama. T. Ahmad tidak sempat
mengeyam pendidikan seperti Abu Lueng Ie, sebab ia lebih awal menghadap Allah pada tahun
1945. Diceritakan, T. Ahmad meninggal dunia karena diracun oleh orang tidak
dikenal dan yang tidak senang padanya.
2. Wafat Abu Lueng Ie
Sebelum wafat, Abu Lueng Ie tinggal di
rumahnya yang sekarang ditempati oleh anaknya, Tgk. Muhibbuddin. Tepat di depan
kulah tempat santri berwuduk. Abu Lueng Ie pun sering duduk di atas kulah tanpa
menggunakan pakaian lengkap. Ia duduk sambil mengipas badan yang mungkin terasa
panas saat berada dalam ruang rumahnya.
Diceritakan pula bahwa setiap orang yang
datang ke Dayah Lueng Ie, selalu mengambil air kulah tersebut untuk diminum.
Bahkan Tgk. Kalee sering berbuka puasa dengan air kulah itu. Ibu-ibu yang
membawa anak kecil juga ikut mengambil manfaat dari air kulah Abu. Mereka
memandikan anaknya di kulah, sebab pernah tersebar pada masyarakat bahwa “ie
kulah Abu Lueng Ie jeut keu ubat peunawa”, (air kulah Abu bisa menyembuhkan
penyakit).
Menjelang wafat, Abu Lueng Ie mengelilingi
setiap sudut Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie. Abu melintasi pagar-pagar dayah,
dan membaca doa di sekililing dayah. Tidak heran jika saat ini Darul Ulum Abu
Lueng Ie seperti ada pelindung dari ancaman pencurian. Jarang sekali terjadi
kehilangan benda milik santri. Padahal dayah tersebut tidak memiliki pagar yang
memadai.
Sepertinya Abu mengetahui ajalnya akan
segera dijemput. Usai menebar doa untuk melindungi dayah, maka Abu meminta
dibawakan ke rumah sakit di wilayah Lampriet, sekarang dikenal dengan Rumah
Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA). Abu memerintahkan keluarga dan anaknya untuk
membawa diri ke rumah sakit, agar masyarakat tidak menduga bahwa Abu wafat
dalam keadaan ibadah, tetapi seperti manusia lainnya yang meninggal karena
sakit.
Setelah di rawat di RSUZA dan tidak terlihat tanda-tanda akan
sembuh, Abu Lueng Ie dipindahkan ke
Rumah Sakit Kesdam untuk pengobatan lebih baik. Namun Allah berkendak lain. Abu
menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Kesdam. Sesaat sebelum ajal tiba,
Abu berpesan pada anaknya; Muhibbuddin! Nyan sulok bek ka peuhancoe.
Abu mengharapkan pada Tgk. Muhibbuddin agar tidak menghilangkan
ritual suluk yang selama ini telah Abu kembang dan pertahankan. Ia berharap
anaknya, terutama Abon supaya melanjutkan perjuangan suluk yang ia wariskan.
Beberapa jam kemudian Abu Lueng Ie
menghadap Allah sang pencipta alam. Tepatnya tahun 1992. Sebagaimana cita-cita
semua hamba, mati di hari Jumat adalah sebuah harapan indah. Tidak heran dalam zikir
sulok selalu dipanjatkan doa agar meninggal hari Jumat bulan Ramadan.
Teryata Allah memperkenankan doa Abu.
Sebelum Abu Lueng Ie wafat, kondisi di Desa Lueng Ie sedang
kemarau. Panas terik matahari membuat masyarakat setempat enggan keluar rumah.
Pohon-pohon pun terlihat layu dan kering. Setelah Abu meninggal, alam setempat langsung berubah.
Langit seakan menangis histeri. Hujan deras terus membasahi bumi Lueng Ie dan
sekitarnya. Derasnya hujan berlangusung hingga beberapa hari berikutnya.
Ditambah angin kencang dan petir dahsyat yang menakutkan. Seakan alam berpesan
bahwa kepergian Abu adalah musibah bagi dunia.
Para murid dan masyarakat dari berbagai
daerah di Aceh mulai mendatangi rumah duka. Kepergian Abu membuat keluarga dan
anak-anaknya sedih. Muridnya merasakan seperti kehilangan mutiara dalam genggaman.
Rasanya sulit sekali mencari pengganti sekaliber Abu Lueng Ie.
Belum sempat memindahkan perkakas masak di
dapur untuk menghidangkan makanan bagi tamu dan jamaah yang ber-ta’ziyah,
wafatlah Umi Nuraini, istri tercinta sang Abu Lueng Ie. Disebutkan, nafas
terakhir umi tepat pada 100 hari Abu wafat.
Sesuai pesan Abu ketika masih hidup, Umi
Nuraini dimakamkan disamping makam suaminya. Kini kedua makam tersebut telah
didirikan bangunan oleh anaknya, yang dikenal dengan “Kubah Abu”. Di samping
makam Umi Nuraini terdapat makam anaknya, Tgk. T. Alaidin Bin Abu Lueng Ie. Yang
meninggal pada tahun 2015.
3. Masa Menuntut Ilmu
Sejak kecil, Abu Lueng Ie telah belajar pendidikan dasar agama
pada orang tuanya, seperti membaca quran, rukun Islam, dan belajar sembahyang.
Selanjutnya Abu Lueng Ie menempuh pendidikan formal di Sekolah Rendah Negeri
(Gevernement Inlandhche School) yang berlokasi di Lam Ateuk, Aceh Besar.
Sekolah tersebut di bawah Pimpinan Hindia Belanda, dan setara dengan Sekolah
Dasar (SD) zaman sekarang.
Sebelum berdagang ke Aceh Selatan, tepatnya di Labuhan Haji, Abu
Lueng Ie belajar di sekolah MULO. MULO adalah pendidikan formal yang didirikan
pada masa Belanda. Sekolah tersebut setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) saat ini. Untuk bisa lulus pada sekolah MULO tidak mudah, hanya
konglomerat, bangsawan, dan kaum terhormat yang bisa belajar di sana. Abu Lueng
Ie berkesempatan belajar di sekolah milik Belanda tersebut, sebab ia dari keturuan
“Teuku” yang memiliki kehormatan dalam pandangan Belanda. Mereka yang tamat
MULO sangat mudah mendapatkan pekerjaan dalam pemerintahan Belanda.
Setelah menamatkan pendidikan MULO, Abu sempat menjadi Tentara Nasional
yang juga difasilitasi dengan senjata ringan. Ia bertugas mengawal ulama yang
menghadiri acara formal yang digelar berbagai lembaga di Aceh. Pernah ia menghadiri agenda penting yang diisi
tausiah oleh Abuya Muda Waly di Banda Aceh. Ia melihat aura wajah Abuya
sungguh bercahaya. Tidak ubahnya wajah Rasulullah yang sering diceritakan
memiliki cahaya dan enak dipandang. Mungkin Abu merasakan ada kebenaran hakiki
pada diri Abuya, serta tingginya ilmu dan amalan Abuya, sehingga tertarik untuk
belajar agama padanya.
Ketika masih menjadi Tentara Nasional, Abu Lueng Ie merasa bosan
menjadi bagian dari militer. Ia mumutuskan untuk berhenti dari tugas
ketentaraannya. Akhirnya Abu memilih belajar agama di dayah. Suatu ketika Abu
berkata pada ayahnya; loen meujak beut. Kala itu Ibunya sedang bersama
ayahnya. Mendengar permintaan putranya, sang ibu berkata; jeut, jak beut aju
nyak. Hana meupee chit ngoen tentra nyan.
Abu Lueng Ie merasa senang sebab orang tua merestui niatnya hendak
belajar agama. Abu belum mengemukakan dayah mana yang akan dia pilih. Setelah ibunda
mengetahui bahwa Abu Lueng Ie ingin belajar di Dayah Darussalam, Aceh Selatan,
ibundanya melarangnya untuk pergi. Akhirnya ia dibolehkan menuntut ilmu ke sebuah
dayah di Jeureula, sebuah desa di wilayah Ulee Lheue, Banda Aceh. Di dayah yang
juga memiliki banyak santri itu ia belajar empat tahun lamanya.
Niatnya untuk belajar di Dayah Darussalam Aceh Selatan belum
hilang. Sehingga tidak pernah henti ia mohon pada orang tua untuk belajar di
sana. Setelah pertemuan pertama dengan Abuya Muda Waly tahun sebelumnya, rasa
kagum pada Abuya yang mendorong Abu Lueng Ie ingin mondok di Dayah Darussalam,
Aceh Selatan. Harapan tersebut tidak berjalan mulus, sebab ibunda Abu Lueng Ie
masih enggan memberikan izin padanya
untuk berdagang ke tempat yang jauh.
Namun cita-cita ingin berdagang makin sering ia kemukakan pada
orang tua. Lambat laun, setelah menyampaikan pada Abuya perihal tidak mendapat
restu orang tua, akhirnya Abuya memutuskan untuk membawa Abu Lueng Ie belajar
di Aceh Selatan. Tentunya atas izin orang tua Abu meskipun berat hati
melepaskan kepergian anaknya. Sikap Abuya terhadap Abu Lueng Ie bukan sebuah
keputusan tanpa makna. Dalam pandangan penulis, Abuya memang mampu melihat
karakter dan potensial yang dimiliki oleh Abu Lueng Ie kecil, sehingga merasa
bertanggungjawab untuk mendidiknya. Mungkin Abuya bisa memprediksi bahwa Abu
Lueng Ie akan menjadi sosok ulama besar dan berpengaruh, serta dapat mewarisi
ilmu dan thariqat yang dikembangkannya.
Akhirnya ibunda Abu Lueng Ie tidak lagi menghalangi anaknya ke
Aceh Selatan. Mungkin karena mengetahui pasti sosok kehebatan Abuya Muda Waly
dan begitu yakin ingin membawa Abu Lueng Ie ke Labuhan Haji. Serta merasakan
bahwa Abu harus memiliki tempat dan guru yang lebih tinggi ilmunya.
Semasa mondok di Dayah Darussalam, Abu Lueng ie dipercaya sebagai
bendahara dayah. Tidak hanya itu, ia menjadi tangan kanan Abuya Muda Waly bila
sewaktu-waktu Abuya tidak sempat memantau perkembangan pendidikan di dayah. Abuya
Muda Waly sering mengajak Abu Lueng Ie untuk menemaninya, baik untuk mengisi
pengajian di luar dayah atau pun kegiatan lain. Abu juga pernah menjadi supir
pribadi Abuya. Kala itu ia mengendarai sepeda dengan membonceng Abuya ke tempat
tujuan. Suatu ketika Abu membonceng Abuya melewati jalan berbukit. Ia seperti
merasakan lelah dan berat mendayung sepeda saat berada di tanjakan. Berkat
karamah Abuya Muda Waly dan zikir “Ya hayyu ya qayyum” yang dibaca Abu
Lueng Ie, sepeda yang didayung oleh Abu terasa jadi ringan. Bahkan ia merasa
seperti berdayung sepeda di jalan rata meskipun sebenarnya berada di jalan
tanjakan.
Tugas lain Abu Lueng Ie di Dayah Darussalam adalah menjaga anak
Abuya Muda Waly. Ia pernah mengurus keperluan Abuya Dr. Muhibbudin Waly dan
Abuya Jamaluddin Waly. Sedangkan segala kepentingan di dayah sudah menjadi
tugas hari-harinya.
Di Dayah Darussalam Abu Lueng Ie belajar selama 28 tahun pada
Abuya Muda Waly. Dan di Jeurela mondok selama 4 tahun. Artinya ia belajar agama
32 tahun dalam kondisi fokus. Abu Lueng Ie tidak menyia-nyiakan masa muda untuk
belajar. Apalagi pada sosok guru yang punya pengetahuan luas.
Ia tidak pernah hidup mewah, padahal fasilitas dan keuangan dayah
berada dalam genggamannya. Dalam sebuah riwayat, Abu Lueng Ie tidur
berbantalkan boeh leping (kelapa tua). Ia tidur dengan kitab di tangan
sambil mengulang. Ketika matanya terpejam dan mulai ngantuk, lalu kepalanya
jatuh dari boh leping, sebab tidak seimbang.
Saat jatuh kepalanya, ia terbangun, kemudian mengambil kitab yang
tergelatak di tempat tidur, lalu mengulang kembali pelajaran. Begitu seterusnya
hari-hari Abu semasa di dayah. Itu sebab Abu Lueng Ie mampu mengajar kitab
kuning tanpa melihat teks, sebab telah berbekas di kepalanya pada masa
menuntut.
Setelah melalui masa 28 tahun, Abu pulang ke kampung halaman di
Cot Cut, berdekatan dnegan Cot Iri, Aceh Besar. Tidak lama kemudian ia dapat
kabar bahwa gurunya dalam keadaan sakit. Segera ia berangkat menuju Aceh
Selatan. Beberapa saat tiba di Dayah Darussalam, Abuya Muda Waly meninggal dunia
dalam usia muda. Disebutkan, Abuya meninggal pada usia 45 tahun.
Ketika hendak dimakamkan, muridnya dan masyarakat sekitar
merasakan hal berbeda. Keranda yang dimasukkan jasad Abuya terasa amat ringan,
tidak seperti mayat lainnya. Bahkan seperti tiada mayat di dalamnya. Dikisahkan
pula, banyak hal aneh yang terjadi pada saat Abuya wafat.
Abu Lueng Ie merupakan murid yang sangat menghormati gurunya. Saat
Abu masih mondok di Dayah Darussalam, tiba-tiba mendapatkan kabar bahwa ibundanya
sedang sakit berat. Ia pun berkeinginan untuk kembali ke rumah menjenguk sang
Ibu. Niat itu disampaikan pada Abuya.
Berikut respon Abuya, "Meunye
ta wou chit yang ureung syiek keun han puleh chiet dan menyeu sakit keun hana
meukeurung sakit gara-gara gata tawou," pinta Abuya Muda Waly
dalam bahasa lebih kurang demikian. "Jinou bek tawou sare, bah lon meudoa moga bagah puleh."
Niat Abu Lueng Ie untuk pulang ke Aceh Besar dihentikan. Abuya
bermunajat pada Allah agar memberikan kesembuhan pada ibunda Abu. Allah
memperkenankan doa Abuya. Ibu Abu Lueng Ie kembali sehat seperti sedia kala.
Nilai ta’dhim Abu Lueng Ie pada Abuya Muda Waly bisa
dilihat dari rasa ikhlas dan giatnya menyebarkan agama Islam, khususnya thariqat
naqsyabandiyyah yang ia warisi dari gurunya.
4. Mendirikan Dayah dan Majlis Ta’lim
Sejak Abuya Muda Waly tiada, Abu Lueng Ie memilih pulang ke
kampung halaman untuk mendirikan dayah. Sebelum mendirikan dayah, ia dijodohkan
dengan gadis Lueng Ie. Gadis belia bernama Nur Aini itu berusia 17 tahun. Masa
itu, perempuan Aceh seumuran Nur Aini muda sudah layak untuk berumah tangga.
Sedangkan Abu mendekati umur 40 tahun.
Dikisahkan, Nur Aini saat itu sangat keras menolak dijodohkan
dengan pria tua semacam Abu. Ayah Nur Aini sempat marah, sebab ia menolak
dinikahi dengan Abu. Tidak lama itu, Nur Aini yang seakan masih ingin hidup
sendiri melarikan diri dari rumah. Namun niat menjauh dari Abu tidak kesampaian.
Akhirnya, kedua insan ini menikah pada tahun 1951. Bahkan Nur Aini menerima
kenyataan itu dengan sangat terpaksa.
Setelah menikah, Abu Lueng Ie menetap di rumah orang tua istrinya
di Kampong Lueng Ie. Di rumah mertua, Abu menghidupkan pengajian. Semakin hari,
muridnya kian bertambah yang datang dari berbagai daerah di Aceh Besar, bahkan
luar daerah. Melihat kondisi sudah tidak memungkinkan, akhirnya warga setempat
mewakafkan tanah untuk didirikan dayah. Tepatnya di lapangan voly Lueng Ie saat
ini, dan bersebelahan dengan komplek santriwati sekarang.
Atas permintaan masyarakat setempat, didirikan lah dayah dengan
nama Darul Ulum (Kampung Ilmu). Belakangan dikenal Dayah Darul Ulum Abu Lueng
Ie. Ketika itu, balai pengajian sangat sederhana. Tiang-tiang dan lantai
dibangun dengan pohon kelapa. Sedangkan dindingnya terbuat dari daun kelapa
muda yang dienyam. Orang setempat menyebutnya bleut.
Sejak saat itu, berdirilah balai yang dikenal Balee Bleut.
Dan terdapat dua kamar untuk tempat Abu beristirahat, juga tempat guru bantu
menginap. Di situ Abu mulai mengajar dan mendidik muridnya hingga berkembang
pelan-pelan.
Pada tahap berikutnya, Balee Bleut tidak mampu lagi
menampung santri, sebab makin ramai yang ingin belajar pada Abu Lueng Ie. Akhirnya
orang kaya di Lamreung memberikan rumahnya yang tidak ditempati untuk dijadikan
tempat pengajian.
Sejak saat itu Abu mengelola dua dayah. Pertama Dayah Bleut
di Kampong Lueng Ie, dan Dayah Manyang di Kampong Meunasah Papeun,
Lamreung. Tepatnya di tanah wakaf yang dibangun Masjid Hidayatul Islah Teuku
Nyak Arief, Lamreung. Dayah yang berbentuk rumah besar milik Teuku Nyak Arief
itu dijadikan tempat belajar ilmu agama. Berdirinya dayah di rumah tersebut atas keinginan
Teuku Hitam, anak dari Teuku Nyak Arief.
Pemondokan tersebut
dikenal dengan Dayah Manyang, sebab berada dalam rumah besar
dan terdiri atas dua lantai. Dayah Manyang adalah dayah
kedua setelah pertama kali dibangun Dayah Bleut. Dayah ini
menjadi komplek untuk para santriwan. Sedangkan untuk komplek santriwati berada
di Desa Lueng Ie, dikenal dengan Dayah Bleut. Abu mengelola kedua
dayah tersebut secara profesional, meskipun terletak sedikit lebih jauh dalam
kampung yang berbeda.
Di Dayah
Manyang Abu hanya mengajar dewan guru atau kelas tinggi. Sedangkan
untuk kelas rendah diajarkan oleh para guru bantu yang mumpuni. Muridnya dari kalangan lelaki adalah Tgk. Prof. Dr. Sofwan Idris,
MA, mantan Rektor IAIN Ar-Raniry. Tgk . Hasballah, Tgk. Abdul Samad, dan
beberapa lainnya.
Sedangkan di komplek wanita,
murid seniornya adalah Umi Lailan, Tgk. Sur, dan beberapa lainnya. Untuk kelas
rendah di komplek wanita, diajarkan oleh beberapa dewan guru yang juga kalangan
wanita. Dan Abu juga menyempatkan diri untuk mengajar langsung murid
perempuannya.
Selain mengajar pada jam
tetap, Abu Lueng Ie juga memberikan peluang pada santri untuk mengulang kitab
padanya. Ia selalu berupaya menjadi guru terbaik bagi muridnya. Pernah Abu
sedang memberikan makan lembu (lemoe mirah) di kandang, tiba-tiba datang
muridnya (Tgk. Kalee) untuk mengulang kitab. Dengan membawa selembar halaman
kitab, Tgk. Kalee bertanya apa yang tidak ia pahami dari isi kitab. Sedangkan
Abu memberi penjelasan sambil memberi makan lembu.
Abu Lueng Ie juga
memiliki majlis ilmu di Desa Kalee, Kabupaten Pidie. Jika sewaktu-waktu
pengurus majlis ilmu di sana meminta kehadirannya, ia tidak sungkan untuk
menghadiri demi penyebaran ilmu agama dan thariqat
naqsyabandiyah. Dari Banda Aceh menuju Pidie, Abu menggunakan angkutan
umum. Pernah ia bersama putra pertamanya mengisi pengajian dan tawajjuh di
Kalee. Setelah turun dari angkutan, ia harus berjalan kaki dengan jarak tempuh
yang jauh dan melalui perbukitan yang dihalangi sungai. Dikabarkan, ada dua
sungai yang mesti dilalui saat itu, dengan cara masuk ke dalam sungai, sebab
tidak ada jembatan. Ketika Tgk. Muhibuddin kelelahan berjalan saat menuju
tempat majlis, Abu menggendong putranya dan meletakkan di bahu. Bahkan dalam
kondisi menyeberangi sungai ia menggendong putranya agar tidak basah.
Demikian lah perjuangan
Abu Lueng Ie dalam misi penyebaran thariqat naqsyabandiyah. Maka
sangat wajar keihlasan ini ditebus oleh Allah dengan memberinya karamah yang
sebanding dengan gurunya, Abuya Muda Waly. Kedekatan Abu dengan anaknya ini
membuat Tgk. Muhibuddin merupakan sosok anak yang sangat disayangi oleh Abu.
Konon Abon selalu menyebutkan, “Bang Muhib aneuk kesayangan
Abu. Menyoe neu pesaket hate Bang Muhib, sama shiet lage ta peu saket hate
Abu.”
Pesan Abon tersebut
sangat membekas pada diri kami pengurus Dayah Darul Ulum Abu Lueng. Sebab itu,
kami tidak ingin membuat susah dan tersakiti hati anak kesayangan Abu Lueng Ie.
Sebagai sosok yang
berlimu tinggi, Abu Lueng Ie sangat diminati oleh banyak kalangan. Ia memiliki
banyak majlis ilmu. Di antara majlis pengajian dan tawajuhnya ada di
seputaran Blang Padang. Tepat di rumah Tuanku. Tuanku merupakan konglomerat
kaya raya. Ia sangat peduli pada agama. Sebab itu Tuanku meminta Abu mengadakan
tawajuh dan pengajian di rumahnya. Jamaah yang datang berasal dari daerah
setempat. Dalam seminggu
sekali Abu ke Blang Padang menggunakan sepeda. Ia tidak ingin mengendarai
kendaraan mewah. Hal ini sudah menjadi kebiasaan hidup Abu. Selain menggelar
ibadah tawajjuh, juga diadakan pengajian sebagai upaya menyebar
ilmu agama pada umat.
Abu Lueng Ie menyebarkan thariqat
ke kampung-kampung yang menurutnya cocok dan didukung fasilitas tempat.
Masyarakat yang pro pada Abu Lueng Ie kerap mengajak Abu untuk menggelar
pengajian dan tawajuh di kediamannya. Selain di Blang Padang, Abu Lueng Ie juga
memiliki majlis ta’lim di Lamteumen, Banda Aceh. Di sana ada seorang muridnya
bernama Tgk. Abdullah Lamteumen, yang dikenal dengan sapaan Yah Cek. Di
Lamteumen Abu juga menyebarkan ilmu agama dan tarikat pada masyarakat sekitar.
Proses menggembara yang dilakukan Abu
Lueng Ie disebabkan dayah yang dipimpinnya belum rampung total, sehingga belum
mampu menampung banyak santri dan jamaah. Untuk memperluas dayah, Abu membangun
dayah di samping Balee Bleut. Persisnya tempat berdiri Dayah Darul Ulum Abu
Lueng Ie yang sekarang ini (2018). Bahkan saat ini masih terdapat bangunan
peninggalan Abu Lueng Ie, seperti mushalla yang berada di pinggir jalan.
Juga rumah besar yang kini ditempati santriwati. Komplek dayah makin luas
hingga ke bagian belakang, yang sekarang menjadi komplek santriwan.
Ketika Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie
telah memiliki fasilitas yang memadai, Dayah Manyang dan Balee Bleut
dipersatukan. Tetapi tetap dipisah antara santriwan dengan santriwati,
sebagaimana dayah lainnya yang menempatkan santri wanita dan pria pada asrama berbeda.
Kini, bekas didirikan Balee Bleut telah dijadikan lapangan Voly Kampung
Lueng Ie. Sedangkan Dayah Manyang telah dibangun Masjid Hidayatul Islah
Teuku Nyak Arief, Lamreung.
Setelah Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie
bersatu, makin ramai masyarakat yang berdatangan dengan tujuan belajar agama
dan mengikuti tawajuh. Pada malam Rabu, Abu selalu mengadakan tawajuh bersama
santri. Semua khalifah dari Aceh Besar, Banda Aceh, dan Pidie berkumpul di
Dayah Lueng Ie untuk mengikuti ibadah tawajuh. Segala kepentingan para khalifah
dilakukan di dayah Abu.
5. Daya Hafalan dan Berbahasa
Abu Lueng Ie menguasai delapan bahasa. Di antaranya bahasa Jepang,
Belanda, Inggris, Arab, Aceh, Indonesia, Melayu, dan Aneuk Jamee (bahasa
daerah Aceh Selatan yang hampir serumpun dengan bahasa Padang). Seorang
muridnya, Prof. Dr. Sofwan Idris, MA kerapa belajar bahasa Inggris pada Abu.
Kemampuan menguasai bahasa asing sangat wajar dimiliki oleh Abu, selain
kecerdasannya tinggi dan hafalannya kuat, ia juga hidup pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang di Indonesia. Sedangkan bahasa Arab sudah menjadi bahasa
kesehariannya dalam mengajar ilmu agama lewat kitab kuning.
Dalam berdakwah, Abu Lueng Ie menggunakan pendekatan sosial. Ia merumus
ilmu seperti tahuid, fikih, dan dan tasawuf dalam bentuk nazam atau burdah.
Tujuannya agar murid dan jamaah suluk dapat dengan mudah memahaminya. Beberapa
nazam dalam bentuk salawat masih dipraktekkan oleh murid dan santri yang saat
ini belajar di Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie.
Biasanya nazam dibaca setelah salat dan zikir bersama. Nazam
tersebut bertujuan agar hati manusia tidak lalai dari mengingat Allah. Juga
untuk mengikis hati yang keras supaya lembut dan tunduk pada Allah. Sebab itu,
Abon Tajuddin berkata: tidak perlu mengubah irama nazam dan salawat yang
telah ada, karena sengaja iramanya diciptakan demikian agar hati yang keras
menjadi lembut dan selalu mengingat Allah.
Dalam sebuah majlis ilmu, Tgk. Tajuddin yang akrap disapa Abon
menceritakan sosok ayahnya yang sangat tawadhu', dan tidak ingin
terlihat sombong di hadapan siapa pun. Sepanjang hayat Abu Lueng Ie, semua
murid Abu mengakui kedalaman ilmu dan daya hafalannya.
Dalam kisah lain dijelaskan, Abu Lueng Ie mampu mengajar
I'annatuthaalibin tanpa harus membuka kitab. Ia mampu membaca persis dengan
apa yang tertulis dalam kitab. Kemampuan hafalannya memang tidak diragukan. Hal
ini membuat muridnya makin kagum pada dirinya. Konon Abu sangat mahir berbicara
dengan delapan bahasa. Selain ahli sufi dan ulama fikih Mazhab Syafii, ia juga
seorang hafidz 30 juz.
Abon mengisahkan, "Abu itu hafal quran, tetapi tidak pernah
ia membaca selain dari surat Al-ikhlas pada rakaat kedua, meski pun
menjadi imam."
Tujuannya untuk menghindari rasa sombong atas ilmu yang dimiliki.
Lagi pula, fahala membaca satu kali Al-ikhlas sebanding dengan membaca
sepertiga Alquran. Sebab itu, Abu sang hafiz selalu membiasakan membaca Al-ikhlas
pada rakaat kedua. Abu Lueng Ie memahami bahwa jamaah yang ikut suluk
bersamanya banyak yang telah lanjut usia. Sehingga banyak dari mereka yang
tidak mampu berdiri lama dalam salat. Maka Abu memendekkan bacaannya.
Sejak mengetahui hal itu, saya (penulis) pun tidak pernah membaca
selain dari surat Al-ikhlas pada rakaat kedua. Kalau pun membaca surat
lain, tetap saja menutupi dengan surat Al-ikhlas. Abon berkata; bacaan
quran yang paling ikhlas itu lah membaca surat Al-ikhlas.
6. Metode
Mengajar
Metode penyebaran agama dan thariqat yang dijalankan Abu
Lueng Ie berbeda dengan ulama lainnya. Ia sosok ulama yang memadukan antara ilmu
tauhid, fikih, dan tasawuf. Setiap ilmu yang diajarkan, ia ikut mempraktekkan
dalam ibadah yang diikuti oleh muridnya. Biasanya diimplimentasikan pada saat
tawajuh berlangsung.
Sebab itu Abu Lueng Ie dikenal sebagai alim ‘abid kepada Tuhan.
Selain menguasai ilmu fikih dan tauhid, ia juga ahli ibadah. Bermacam salat
sunat, puasa sunat, zikir, dan amalan sunat lainnya ia kerjakan, serta diikuiti
oleh murid atau jamaah tawajuhnya. Karena alim dan’abid inilah yang membuat dirinya memiliki nilai
kharismatik tinggi dalam masyarakat. Bahkan Allah telah memuliakannya dengan
memberikan kelebihan (karamah/keramat) yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ia
juga mendapatkan rahasia-rahasia Allah yang diberikan pada hamba tertentu.
Penyebaran ilmu tauhid dan fikih dilakukan disela-sela ibadah
zikir, tawajuh, dan suluk. Seperti yang dipraktikkan oleh anaknya AbonTajuddin
saat ini. Sebelum memulai tawajuh, ia mulai dengan pengajian kitab kuning
berbahasa Arab Melayu. Bila mengajar masyarakat umum dalam majlis ta’lim,
Abu Lueng Ie lebih dominan menggunakan kitab berbahasa jawo. Tetapi bila
mengajar murid yang mondok di Dayah Lueng Ie, ia menggunakan kitab arab
sebagaimana kitab yang lumrah diajarkan di seluruh dayah di Aceh.
Mengajar murid yang mondok di dayah adalah rutinitas wajib Abu
Lueng Ie. Selain mengajar pada murid yang mondok, Abu Lueng Ie juga mengajar majlis
ta’lim di dayah mau pun di luar dayah. Di dayah, Abu Lueng Ie sering
mengadakan majlis ta’lim pada hari Jumat sebelum waktu Jumat tiba.
Jamaah pengajiannya datang dari berbagai tempat dari Aceh Besar dan Banda Aceh.
Bahkan ada yang dari luar kedua daerah tersebut.
Setelah pengajian berakhir, Abu Lueng Ie segera menuju masjid
untuk menunaikan kewajiban Jumat. Biasanya ia pergi bersama dengan muridnya
bernama Tgk. Halim (Tgk. Lingke), berasal dari Lingke, Banda Aceh. Dengan
menggunakan “Honda CB” milik Tgk. Lingke, Abu berjalan ke masjid.
Sebelum memiliki dayah dengan fasilitas memadai, Abu Lueng Ie
sering melakukan tawajuh di tempat kediaman muridnya. Salah satunya di rumah
Tuanku, di seputaran Blang Padang, Banda Aceh. Juga Abu Lueng Ie kerap
melakukan kunjungan ke Kabupaten Pidie, dalam rangka memimpin tawajuh dan
pengajian di daerah Kalee yang juga tempat muridnya.
Setiap tempat tawajuh dan pengajian yang dipimpin Abu Lueng Ie,
selalu banyak di hadiri oleh masyarakat yang ingin berada dalam agama yang
benar. Terkadang Abu tetap melaksanakan kewajiban mengajar meskipun muridnya
tidak banyak yang hadir.
7. Hadiah Umat Untuk
Abu Lueng Ie
Keilmuan Abu Lueng Ie mendatangkan
berbagai manfaat baginya. Ketika masih hidup, Abu sangat sering ditawarkan
berbagai kemewahan dan kebutuhan hidup lainnya. Ia sangat tawadhu’ dan
menghargai kebaikan orang lain. Meskipun tidak memanfaat pemberian orang, ia
tidak ingin menolak pemberian orang lain, hal ini demi menjaga perasaan dan
hati pemberinya. Demikian halusnya Abu dalam menjaga hati orang lain. Sangat
wajar ini menjadi pertimbangan Abu, sebab ia tidak pernah berhenti berzikir
agar hati suci dari segala penyakit tercela, termasuk menyakiti hati orang lain.
Seorang muridnya menawarkan rumah untuk
kediaman Abu. Ia tidak menolak dan juga tidak menggunakannya. Karena tidak
keberatan atas tawaran mendirikan rumah, seorang muridnya yang kaya raya
membangun rumah untuk kediaman Abu. Tepatnya di komplek Dayah Darul Ulum Abu
Lueng Ie. Saat ini rumah tersebut dihuni oleh putri Abu Lueng Ie, Cut Nurul.
Sejak dibangun hingga Abu meninggal
dunia, rumah tersebut tidak pernah dijadikan tempat istirahat Abu dan keluarga.
Ketika Abu menghadap Allah, keluarga dan murid membawa jenazah Abu untuk masuk
dalam rumah yang dibangun oleh seorang muridnya. Jasad Abu dibawa masuk dari
pintu depan dan dikelilingi ruang dalam rumah, kemudia dibawa keluar lewat
pintu yang sama. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan berkah, terutama bagi
orang yang menyumbang sedekah bangunan tersebut.
Malah Abu membangun rumah sendiri
berbahan kayu dan papan. Rumah ini dibangun dengan uang sendiri dari hasil
penjualan padi. Sebab Abu memiliki banyak tanah sawah yang disewakan pada orang
lain. Setiap kali masa panen, penyewa menyerahkan padi kepada Abu. Hasil
penjualan padi ini lah dibangun rumah yang kini dihuni oleh seluruh anaknya.
Rumah besar tersebut dipilah dan dibagi untuk anaknya, sesuai dengan urutan
pertama yang menikah.
Adnan, murid Abu Lueng Ie mengisahkan.
Semasa hidup Abu sangat sering menggunakan baju kaus putih. Tali pinggang tebal
berwarna hijau. Persis seperti tali pinggang yang sering digunakan oleh Tu Min
Bireuen. Di bagian tali pinggang itu Abu kerap meletakkan uang. Karena setiap
kali ada yang bersilaturrahmi ke rumahnya, ada saja kemudahan yang mereka sedekahkan
dalam bentuk uang.
Abu Lueng Ie dikenal sebagai ulama yang
berkarakter santun. Cara berjalannya pelan. Langkah kakinya sangat teratur.
Mata dan kepalanya selalu menunduk. Dalam kehidupan para sufi, menunduk
merupakan cara untuk menghindari pandangan ke arah yang tidak baik. Karena
orang di sekeliling kita tidak semuanya berpakaian menutup aurat. Atau
menghindari dari melihat wanita bukan muhrim. Para sufi diajarkan untuk menatap
kuku kaki jempol ketika berjalan. Semata-mata untuk menjaga pandangan dan melatih
hati untuk terus mengingat Allah walau sedang beraktifitas di luar ibadah.
Dalam cerita lain, ulama sufi yang telah mencapai maqam ma’rifatullah,
mereka seperti melihat neraka di bawah tanah. Sebab itu mereka menundukkan
kepala agar hati mereka selalu ingat Allah dan takut pada azab neraka.
8. Abu
Lueng Ie di Mata Presiden Soeharto
Abu Lueng Ie termasuk salah satu ulama yang
terlibat dalam Partai Golongan Karya (Golkar). Bergabungnya Abu dengan Golkar setelah
ditolak oleh beberapa partai lain seperti PPP. Abu juga termasuk aktif di
organisasi Perti yang berada di bawah naungan PPP.
Dalam tulisan ringkas Tgk. Abu Bakar
El-Langkawi disebutkan. Keterlibatan Abu Lueng Ie dalam partai politik punya
misi tertentu. Ia ingin mempertahankan Mazhab Imam Syafii dan golongan ahlusunnah
wal jama’ah lewat kekuatan pemerintah. Selain itu, Abu juga ingin
mempertahankan thariqat naqsyabandiyah yang diwarisi gurunya.
Pada masa Pemerintahan Soeharto yang
dikenal masa Orde Baru, ulama menjadi perhatian penting penguasa. Sebab ulama
punya pengaruh besar dalam masyarakat. Terutama ulama dayah di Aceh yang
dikhawatirkan memberikan dukungan pada perjuangan DI/TII dan masa GAM. Saat itu
Aceh terbilang provinsi yang rawan dengan penculikan, penghilangan orang, dan
pembunuhan. Tidak terkecuali, pemerintah Republik Indonesia akan menculik
setiap orang yang tergabung dalam gerakan saparatis, termasuk ulama yang
memimpin dayah.
Keterlibatan Abu Lueng Ie dengan partai
politik dianggap telah menyeleweng dari misi dakwah. Masyarakat yang
mengenalnya menganggap Abu hanya mencari kenikmatan dunia dari partai dan
pemerintah. Tgk. Abu Bakar El Langkawi menyebutkan, masyarakat tidak melihat
sosok Abu Lueng Ie dengan ketinggian ilmu dan ma’rifah, yang mempunyai
tujuan mulia dengan hasil ijtihad politiknya.
Sebagai ulama sufi dan mursyid, Abu Lueng
Ie telah melalui proses dan melibatkan Allah serta rabithah dengan Abuya
Muda Waly ketika mengambil sebuah keputusan penting. Tgk. Abu Bakar El Langkawi
berkata, Abu masuk ke partai penguasa saat itu sebagai salah satu cara untuk
menyelamatkan agama dan tarikat serta lampu umat "ulama" saat itu.
Tidak ada jalan lain dalam "ijtihad" Abu ketika itu melainkan harus
masuk partai Golkar.
Sikap Abu Lueng Ie bergabung dengan
Golkar membuat para santrinya goyang, bahkan kondisi dayah saat itu sedikit
meredup akibat santri yang tidak lagi aktif di dayah. Selain itu, Abu juga
mendapatkan tanggapan tidak baik dari masyarakat, tetapi ia lewati hal itu
dengan sabar tanpa menyalahkan mereka. Sebab Abu tau ada hal penting yang harus
ia lakukan nantinya, yakni menyelamatkan agama dan ulama dari kejahatan
pemerintah.
Mengutip artikel Tgk. Abu Bakar El
Langkawi, Abon Tajuddin menceritakan bahwa Abu masuk Partai Golkar dengan satu
harapan agar tarikat dan agama tidak boleh diganggu oleh "musuh".
Walaupun para santri saat itu merosot tajam, namun Abu telah memberikan andil
sangat besar di samping menyelamatkan thaiqat naqsyabandiyah, juga telah
mampu menyelamatkan para ulama kharismatik dari penguasa saat itu yang sempat
diintimidasi dan ditangkap. Beberapa ulama Aceh yang ditangkap seperti Abon
Aziz Samalanga, Abu Tanoh Merah, Teungku Muhammad Dewi, dan beberapa
ulama besar lainnya.
Meskipun Abu Lueng Ie masuk dalam ranah
politik, tetapi tidak melunturkan nilai kharismatiknya sebagai ulama dan ahli
tasawuf. Masa itu Golkar menjadi partai penguasa di bawah pimpinan Soeharto.
Tahun 1978 Soeharto datang ke Aceh untuk melihat kondisi tanah rencong. Saat
tiba di Aceh, Soeharto dipeusijuk/tepung tawari oleh Abu Lueng Ie.
Sebelum resepsi peusijuk dimulai, Soeharto berkata pada
Abu; Abu silahkan minta apa saja, akan saya penuhi.
Ucapan itu tidak ditanggapi
positif oleh Abu. Ia tersenyum dan hanya menyahut; ‘iya! Iya!’
Setelah dipeusijuk, Abu
berpesan pada Soeharto dalam bahasa Aceh; loen lake nanggroe neu peu
sejahtera, neu peumakmu, rakyat beu ade.
Mendengar ucapan itu
Soeharto terdiam. Ia tidak paham apa yang disampaikan oleh Abu. Sang ajudan
pimpinan Indonesia yang mendengar pesan tersebut langsung mencatat di
kertas. Usai acara peusijuk, Soeharto bertanya pada
Amin, pimipinan Partai Golkar Aceh. Amin menjelaskan maksud Abu. Ia mengingikan
Pak Soeharto menciptakan keadilan bagi rakyat, membuat negeri ini semakin
sejahtera.
Dua bulan kemudian,
Bustanil Arifin, Menteri Koperasi Indonesia yang juga mantan Letjend TNI. Ia
mengirim utusan ke Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie untuk menjumpai Abu Lueng Ie.
Ketika tiba di dayah sekitar pukul 10.00 WIB, saat itu Abu sedang mengajar
murid di rumahnya. Sejenak Abu menjumpai mereka. Utusan menteri berkata; Abu,
ini mobil pemberian Presiden Soeharto.
Abu menjawab; get
get, ka loen teupee presiden geu nak joek moto keu loen. Ka loen siapkan tempat
keubah moto di likeut.
Bergegas mereka menuju
area bagian belakang rumah Abu. Terlihat di sana sebuah gebuk tua, yang biasa
digunakan untuk peristirahatan lembu. Kala itu Abu memiliki seekor lembu jantan
berwarna merah, pemberian muridnya dari Cot Keueng. Lembu tersebut dipelihara
dalam kadang belakang rumah. Sentak mereka terkejut melihat garasi mobil yang
dimaksud oleh Abu, yakni kandang lembu.
Selanjutnya Abu
mempersilahkan mereka minum, namun mereka ketakutan dan tidak menerima tawaran
Abu untuk minum. Lalu pergi meninggalkan dayah. Diceritakan, mobil jenis Tap BL
173 itu hanya berjalan 50 Kilometer sepanjang hayat Abu. Abu sangat jarang
menggunakan mobil tersebut meski pun berpergian ke tempat jauh. Namun yang
sering menggunakan adalah putra pertamanya, Tgk. Muhibbuddin.
Tgk. Muhibuddin biasa
menggunakan mobil itu ketika Abu tidak berada di rumah. Tetapi Abu tahu bahwa
mobil sering digunakan oleh anaknya. Pernah Abu bertanya; Muhibbuddin,
na ka pakek moto?
“Na Abu”, jawab Muhibbuddin
takut berbohong di hadapan Abunya.
Kedekatan Abu Lueng Ie
dengan Soeharto memang tercatat dalam sejarah perkembangan partai Golkar Aceh.
Abu mempunyai kekuatan besar dalam partai kuning itu. Ia menjadi sosok yang
sangat berpengaruh dalam tubuh partai Golkar. Bahkan Soeharto sendiri tidak
ingin menolak apa pun permintaan dan intruksi Abu.
Pada masa konflik Aceh,
Ahmad Dewi ditahan oleh TNI di Aceh Timur, kemudian diasingkan ke Pidie,
tepatnya di rumoeh geudong. Tidak lama setelah penangkapan Ahmad
Dewi, TNI kembali menangkap ulama Aceh, Abon Samalanga, pimpinan utama Dayah
MUDI Mesra. Kabar ditahannya dua ulama Aceh tersebut sampai ke telinga Abu
Lueng Ie. Sebagai orang berpengaruh, Abu bersama pengurus Partai Golkar Aceh
menuju ke Pidie, tempat di mana dua ulama kala itu ditahan. Kabarnya, kedua
tahanan tersebut akan disiksa oleh TNI, sebab diduga kuat terlibat dalam
gerakan saparatis GAM.
Tiba di rumah tahanan, Abu
tidak dibolehkan menjumpai Ahmad Dewi dan Abon Samalanga. TNI menolak dan
berkata tidak mengenal Abu Lueng Ie. Selanjutnya Abu memerintahkan pimpinan
Partai Golkar Aceh untuk menghubungi Presiden Soeharto lewat telekomunikasi.
Tidak lama kemudian Abon dan Ahmad Dewi dilepaskan dengan syarat tahanan rumah.
Keduanya dibawa ke Banda Aceh dan menetap di Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie.
Selama di dayah, Abon dan Ahmad Dewi membantu Abu untuk menjalankan roda
pendidikan dayah.
Ketika perayaan Maulid
Nabi Mumammad, Ahmad Dewi diperintahkan oleh Abu untuk menjadi penceramah.
Konon Ahmad Dewi menjadi da’i kondang Aceh pada masa konflik.
Dan ceramahnya dikenal sangat keras serta melawan pemerintah Indonesia. Setelah
menyampaikan tausiah dan perayaan maulid, TNI kembali
mendatangi Dayah Lueng Ie. Mereka ingin menangkap kembali Ahmad Dewi.
TNI berkata pada. “Abu,
Ahmad keras sekali berpidato dan menentang pemerintah.”
Abu selalu tersenyum dan
berkata, “nyan koen aneuk mit that mantoeng, haba aneuk mit keu peu ta
deungoe. Yang na bangai tanyoe-tanyoe.”
Ucapan Abu sangat mujarab.
Niat untuk menahan Ahmad Dewi harus dihentikan oleh TNI. Selanjutnya mereka
pulang tanpa menahan da’i muda itu. Demikian besar pengaruh
Abu Lueng Ie dalam konflik Aceh. Meski pun ia tidak terlibat dalam perjuangan
kemerdekaan Aceh, tetapi banyak kontribusinya untuk menyelamatkan para pejuang
Aceh saat itu.
Dalam catatan yang berbeda
yang ditulis oleh Dr. Jabbar Sabil, MA. Teungku Ahmad Dewi ditahan di Markas Laksus Drien Meuduroe,
Geulumpang Payong, Kabupaten Pidie. Selama dalam tahanan, masyarakat tiada
henti berkunjung menjenguk beliau sampai akhirnya dipindahkan ke Banda Aceh
(ditahan di daerah Lampineung). Pada masa ini beliau sempat diisukan telah
meninggal dunia, masyarakat yang menjenguk tidak bisa bertemu beliau sehingga
masyarakat di kampung-kampung melaksanakan salat jenazah ghaib untuk Teungku Ahmad Dewi.
Setelah tiga bulan ditahan di Banda Aceh,
datanglah seorang ulama Aceh Besar (Abu Usman Fauzi) yang kala itu aktif dalam
partai politik Golkar (Golongan Karya). Setelah pertemuan itu, Abu Usman Fauzi
membuat pendekatan dengan pihak aparat keamanan agar status tahanan Teungku
Ahmad Dewi diringankan. Walhasil, Tgk. Ahmad Dewi menjadi tahanan rumah yang
ditempatkan di Dayah Abu Usman Fauzi di Desa Lueng Ie.
Setelah beberapa lama di Lueng Ie barulah
pihak keluarga tahu bahwa Teungku Ahmad Dewi masih hidup, lalu menjenguknya ke
Desa Lueng Ie. Pihak keluarga memohon agar penahanan Teungku Ahmad Dewi
dipindahkan ke Idi Cut. Kesepakatan berhasil dicapai, pemindahan Teungku Ahmad
Dewi disetujui dengan jaminan keluarga, dan status wajib lapor ke polsek
setempat seminggu sekali.[1]
Kisah Abon Samalanga dan Ahmad Dewi juga
terdapat dalam versi lain, seperti diuraikan oleh Tgk. Abu Bakar El Langkawi. "Alah
na Abu droe Tajuddin, meuhan Abon han seulamat," ungkap Abu Mudi
kepada Abon Tajuddin saat menceritakan peran Abu Lueng Ie pada masa Orde Baru
mampu membebaskan para pimpinan dayah dan tokoh ulama besar saat itu dari
berbagai tuduhan.
Abon Tajuddin menambahkan, walaupun dayah
Abu saat itu makin berkurang santri yang belajar, namun para ulama dan tokoh
kharismatik lain di Aceh telah mampu mengantikan peran Abunya (Abu Lueng Ie)
untuk seumeubeut dan
mendidik para santri dengan jumlah yang banyak.
Secara kasat mata, andai Abu Lueng Ie
tidak masuk dalam lingkaran partai penguasa Golkar, sungguh para Abu dan tokoh
ulama kharismatik di Aceh akan "terganggu" bahkan hilang tanpa jejak.
Dan tidak mungkin Abon Aziz Samalanga mampu melahirkan ulama kharismatik
seperti Abu Mudi, Abu Lueng Angen, Abu Panton, Abon Seulimum, Abu Langkawe, dan
ulama kharismatik lainnya. Namun Allah SWT telah merancang demikian dan Dia
lebih Mengetahui!
Sebuah poin penting yang dapat dipetik oleh
para ulama seperti halnya Al-Mursyid Abu Lueng Ie yang terjun ke ranah politik
dan dekat dengan penguasa. Tentu saja mereka telah berijtihad dan memikirkan
positif dan negatifnya. Di samping meminta nasihat baik secara langsung atau
berkolaborasi dengan rohaniah masyaikhul kiram dan bimbingan dari
mereka.
Sebuah contoh konkret. Pada masa DOM penghinaan
terhadap ulama seperti Al-mursyid Abu Usman Kuta Krueng dekat dengan
penguasa dan partai Golkar sering terjadi. Masyarakat menyapa Abu Kuta Krueng
dengan ungkapan yang tidak layak disebut, na'uzubillah min zalik. Mereka
melihat secara lahirnya namun kita yakin Abu Kuta Krueng ketika itu punya
pandangan dan ijtihad baik tanpa kita mengetahuinya.
Kita sebagai masyarakat awam sepatutnya tidak
serta merta mencaci dan menghina hasil ijtihad ulama tersebut, seperti yang
telah dilakukan oleh Abu Lueng Ie dan ulama lainnya yang terjun ke dunia
politik. Mereka punya ziadah ilmu (berilmu tinggi) dan ma’rifah.
Sekali lagi, kalaupun kita tidak menghormatinya karena ilmu tetapi pandanglah
mereka lebih duluan melihat alam dunia ini alias lebih tua dalam umurnya dengan
kita. Sosok ulama tetap wajib dihormati dan dimuliakan terlebih sebagai warisatul
ambia.[2]
Sisi lain yang harus
diketahui, Abu Lueng Ie juga menjadi bagian penting dari pemerintahan dan
partai politik. Ia pernah menjabat Wakil Ketua Tingkat
II Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Sedangkan dalam organisasi Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti), Abu dipercaya sebagai wakil yang diketuai oleh
gurunya, Abuya Muda Waly.
Politik yang dijalankan
Abu memberikan manfaat positif bagi kedua pihak, terutama perjuangan GAM.
Sebaliknya, Abu juga masuk dalam tubuh partai penguasa saat itu untuk
memberikan pertolongan bagi mereka yang membutuhkan lewat pengaruh ketokohan
Abu dalam partai. Inilah cara berfikir ulama masa lalu. Mereka ingin memberikan
yang terbaik bagi bangsa dengan tidak menafikan perjuangan Aceh yang
berlandaskan agama.
Keterlibatan Abu Lueng Ie dengan organisasi membuat dirinya
sebagai orang yang disegani di tubuh partai. Ini menjadi kelebihan Abu. Selain
punya ilmu agama tinggi, dekat dengan Allah, ia juga membentuk pribadi yang
bermanfaat bagi orang lain, terutama dalam politik di Indonesia. Kontribusi Abu
terhadap masyarakat Aceh telah dirasakan hingga saat ini.
Beberapa muridnya masih giat menyebarkan Islam di tengah
masyarakat yang lebih mengutamakan pendidikan dunia. Nama Abu Lueng Ie masih
dikenang sampai saat ini. Dalam nazam "Ubat Hate" yang selalu
dibaca setelah tawajuh terdapat nama "Usman Fauzi". Hal ini
menandakan bahwa Abu Lueng Ie telah berbuat banyak untuk kemajuan thariqat
naqsyabandiyah. Sehingga mengantarkan dirinya pada derajat mursyid.
Dalam aliran sufi. Mursyid merupakan pimpinan tertinggi
dari semua pengikut tarikat. Namun para mursyid ini memiliki pimpinan
yang disebut "Saidul Mursyid" atau tuannya mursyid.
Yang menjadi Saidul Mursyid terakhir adalah Abuya Prof. Dr. Muhibbuddin Waly,
MA. Ia putra terbaik Abuya Muda Waly. Di bawah mursyid terdapat pimpinan yang
disebut "Munafis". Munafis lebih tinggi dibandingkan "khalifah"
atau anak tarikat (pengikut tarikat dan jamaah tarikat).
Selanjutnya di bawah munafis ada "khalifah". Jumlah
khalifah lebih banyak dibandingkan munafis dan mursyid. Sebab untuk menjadi
mursyid terlebih dahulu harus menjadi munafis. Juga harus memenuni kriteria dan
amalan tarikat yang telah ditetapkan. Biasanya munafis dan khalifah diangkat
oleh mursyid. Mereka yang telah menjadi khalifah sudah diperkenankan untuk
memimpin tawajuh. Boleh pula mendirikan tempat tawajuh di tempat masing-masing.
Namun untuk memasukkan orang lain dalam tarikat, atau bahasa lainnya disebut
"memberi ijazah pada pendatang baru dalam tarikat", maka ini hanya
berhak diberikan oleh mursyid. Abu Lueng Ie sering mendatangi tempat tawajuh
yang dipimpin oleh khalifah, guna memberikan ijazah pada murid baru dalam
tarikat.
Penulis : Abu Teuming
Sumber : Tgk. Muhibuddin
9. Akhlak
Abu Lueng Ie
Menjelang pesta
Cut Yanti, cucu Abu Lueng Ie. Saya berkesempatan bertemu Abi Daud Hasbi di
dayah setempat. Dalam pertemuan singkat Abi berkisah. Semasa hidup Abu Lueng Ie
tidak pernah membakar sampah. Ia paling anti pada murid dan keluarganya yang
selalu membakar sampah hanya demi keindahan lingkungan.
Suatu ketika
Abu berkata pada Abi Daud Hasbi, "Nyan nyoe ka toet broeh, ubena
binatang ubet lam broh mate mandum. Troek bak nek-nek jieh mate", (kalau
engkau bakar sampah, semua binatang kecil dalam tumpukan sampah akan mati,
hingga neneknya pun mati).
Abu sangat
tidak senang bila ada orang yang membakar sampah dalam bentuk apa pun, terutama
bila hal itu dilakukan oleh murid dan keluarganya. Konon, sepanjang hayat, Abu
hanya memerintahkan muridnya untuk menanam sampah dalam tanah. Layaknya mayat
dimasukkan ke kubur. Tidak boleh ada yang membakar sampah, sebab dalam tumpukan
sampah banyak binatang-binatang kecil makhluk Tuhan. Mereka juga ingin hidup
seperti manusia dan mencari makan dengan aman. Hal ini membuktikan bahwa Abu
Lueng Ie sebagai ulama sufi berhati suci. Yang tidak ingin menganggu dan
menyakiti kehidupan binatang, apalagi manusia yang punya perasaan dan hati.
Penulis : Abu Teuming
Sumber : Abi Daud Hasbi
10. Karamah
Abu Lueng Ie
Bagian ini akan saya uraiakan beberapa
kelebihan dan karamah Abu Lueng Ie. Sebenarnya Abu Lueng Ie memiliki karamah
tinggi. Keluarga dan muridnya sering mendapatkan bukti karamahnya.
Bagian (1)
Dalam pembahasan ringan, saya dapatkan
beberapa informasi tentang Abu Lueng Ie. Kali ini bersumber dari Mak Kak (Elda),
istri Tgk Muhibbuddin.
Ia menceritakan. Abu pernah didatangi sosok
petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada masa konflik Aceh, Ahmad Dewi.
Kedatangannya untuk mengambil ijazah dan belajar doa perabon/menghilang
dari pandangan musuh. Abu mengabulkan keinginan Ahmad Dewi. Setelah
mengamalkan doa menghilang, aparat pertahanan negara Indonesia mecium
keberadaan Ahmad Dewi yang bersembunyi di Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie.
Suatu ketika TNI menyambangi rumah Abu
Lueng Ie. Saat itu Ahmad Dewi sedang berada di rumah bersama Abu. TNI mohon
izin pada Umi Nuraini (istri Abu), untuk menggeledah rumah. Umi mengindahkan
keinginan mereka. Berkali-kali mereka bertanya pada umi tentang keberadaan Abu
dan Ahmad Dewi. Ia berkata, "suaminya sedang keluar."
Sepertinya mereka kurang percaya dengan
jawaban umi. Tetapi setelah memeriksa isi rumah, memang tidak terlihat Abu dan
Ahmad Dewi. Padahal Abu dan Ahmad Dewi sedang duduk di ruang tamu, namun TNI tidak
mampu melihat mereka. Tidak menemukan pria yang dicari, akhirnya mereka
pergi meninggalkan dayah tanpa membawa hasil. Tentunya dengan perasaan kecewa.
Dalam kisah lain, saat Mak Kak mengandung
Cut Yanti, Abu berpesan: nanti kamu akan punya anak laki-laki. Beri nama dia
Muhammad Ali Alfauzi.
Beberapa tahun kemudian, Mak Kak
mengandung. Ketika melahirkan, anak terakhirnya lahir berjenis kelamin
laki-laki. Sebagaimana pesan Abu, putra Tgk. Muhhibuddin diberi nama Muhammad
Ali Alfauzi. Sejak lahir, Muhammad Ali Alfauzi dikenal boca cerdas. Beberapa
gurunya memberikan keterangan bahwa daya tangkap pelajarannya cukup tinggi.
Hafalannya juga kuat. Sumber lain juga menyebutkan bahwa Muhammad Ali Alfauzi
terbilang cerdas berkomunikasi, dan memahami kita secara memadai diusia yang
masih belia. Mungkin Abu Lueng Ie memang menaruh harapan pada cucunya dan
mendoakan agar ia mewarisi kecerdasan seperti dirinya.
Lima tahun sebelum meninggal Abu Lueng Ie,
ia telah berpesan untuk nama bayi itu. Dan berkata: saya tidak lama lagi. Maksudnya
Abu akan menghadap Allah.
Bagian (2)
Suluk adalah ritual ibadah yang dilakukan oleh
para sufi. Berikut keterangan istilah suluk yang saya kutip dari
Wikipedia. Suluk secara
harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme. Kata suluk berarti menempuh jalan
(spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah
disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat).
Ber-suluk juga
mencakup hasrat untuk mengenal diri, memahami esensi kehidupan, pencarian
Tuhan, dan pencarian kebenaran sejati (ilahiyyah), melalui penempaan
diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat
batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan. Seseorang
yang menempuh jalan suluk disebut salik. Kata suluk dan salik biasanya
berhubungan dengan tasawuf, tarekat dan sufisme.[3]
Kata suluk berasal
dari terminologi Alquran, Fasluki, dalam surat An-Nahl ayat
69;
§NèO Í?ä. `ÏB Èe@ä. ÏNºtyJ¨W9$# Å5è=ó$$sù @ç7ß Å7În/u Wxä9è 4 ßlãøs .`ÏB $ygÏRqäÜç/ Ò>#u° ì#Î=tFøC ¼çmçRºuqø9r& ÏmÏù Öä!$xÿÏ© Ĩ$¨Z=Ïj9 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ZptUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt
Artinya: Kemudian makanlah dari
tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan
(bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya,
di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang
yang memikirkan.
Kembali ke pembahasan
karamah Abu Lueng Ie. Dalam majlis naik kelas suluk, dari lathaif sembilan
ke laathaif 11, saya mendapatkan info. Kali ini bersumber dari Abon
Tajuddin, anak Abu Lueng Ie yang kini menjadi ahli waris ilmu dan amalan Abu.
Abon mengisahkan, zikir
akan meringankan tubuh. Orang yang berzikir akan merasa tubuhnya sangat ringan.
Abu sangat sering berzikir. Bahkan ia punya
kamar khusus untuk berzikir. Suatu malam Abu mendatangi istri pascaakad nikah.
Tidak ubahnya malam pertama. Karena Umi Nuraini merasa dijodohkan oleh orang
tua dengan Abu. Sebab orang tua umi suka menantu dari kalangan teungku.
Setelah menikah, umi seakan tidak cinta
pada Abu. Sehingga kewajiban melayani suami jarang dipenuhi. Suatu malam Abu
datangi istrinya.
"Adakah hajat malam ini?", tanya Abu pada umi.
Umi cuek. Ia menolak hajatan itu. Karena merasa
tidak ada keperluan dari istri, lalu Abu masuk dalam bilik kecil, tempat ia
biasa berzikir.
Hampir sepanjang malam ia habiskan waktu untuk
berzikir dan taabud pada Allah. Umi yang heran dengan kebiasaan Abu di
bilik kacil, lalu bangun dari tempat tidur, dan mengintip apa yang dilakukan
Abu di tempat sunyi itu. Saat mengintip, umi melihat suatu yang aneh dan
takjub. Ia melihat cahaya di tempat duduk suaminya. Abu seperti duduk di atas
cahaya layaknya awan.
Dalam cerita humor Abon, umi langsung lari
untuk menangkap suaminya yang seakan hendak dibawa lari oleh cahaya itu lewat
jendela. Sejak saat itulah umi mulai kagumi Abu. Dan mulai menunaikan
haknya sebagai istri.
"Lalu lahirlah Bang Muhib, dan ada
kami", ucap Abon humor sambil
tersenyum.
Saya memperhatikan jamaah. Seperti ada air
mata yang menetes dari pelupak mata mereka. Bukan karena sedih, tetapi karena
terharu atas karamah Abu Lueng Ie. Saya melihat jamaah tersenyum ringan
saat Abon berkata "barulah ada kami. Kalau tidak demikian, kami tidak
bakal ada."
Itulah manfaat zikir. Selain mampu
menenangkan jiwa yang resah, juga membuat badan ringan.
Penulis: Abu Teuming,
Pengurus Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie
Sumber: Abon Tajuddin, Pimpinan Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie
Sumber: Abon Tajuddin, Pimpinan Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie
Bagian (3)
Abon Tajuddin
mengisahkan. Ketika Abon masih kecil, antara usia di bawah 10 tahunan. Suatu
ketika Abu sedang istirahat dengan merebahkan badan di alas tidur. Ia memintan
Abon kecil untuk memijit badannya yang seakan lelah. Namun, sebagai anak yang
baru besar, Abon tidak menghiraukan keinginan Abu. Ia ingin pergi bermain
bersama rekannya.
"Nyan enteuk menyoe
na sipeu-peu bek pagah bak Abu beuh", ucap Abu pada Abon yang
terburu-buru ingin pergi dari hadapan Abu.
Tidak lama kemudian ia
pulang ke rumah. Abon berjalan tidak seperti biasanya. Kakinya seakan sedang
bermasalah. Dengan luka di bagian telapak kaki ia terus melangkah mendekati
ayahnya. Di hadapan Abu, Abon pun mengadu, sebab luka tertusuk benda tajam di
kakinya. Sumber menyebutkan, tusukan paku itu tembus ke bagian atas kaki.
Melihat Abon yang
kesakitan, lalu Abu berkata lembut seraya menebar senyum; kan ka Abu peugah,
Abu yu uroet badan hana ka deungoe.
Kemudian Abu melihat
luka di kaki Abon. Darah segar keluar bercucuran. Sentak Abu membaca doa, dan
mengambil air ludahnya, lalu diusap dibagian kaki yang terluka. Dengan izin
Allah. Dalam sekejap luka hilang dan kembali seperti sedia kala tanpa bekas.
Abon yang tadinya tidak
kuasa menahan sakit, akhir tersenyum. Abu kembali ke tempat istirahat dan
meminta Abon untuk memijit badannya. Kali ini Abon tidak berani menolak
permintaan Abu. Seketika memijat, terucaplah sebuah doa dari mulut Abu; Allahummaj'alna
shabura, waj'alna syakura, waj'alna fi 'aini shaghira, waj'alna fii
'a'yuninnasi kabira.
Sejak saat itu, baru lah
Abon tidak berani melawan perintah Abu. Sebab ia sadar ternyata Abu sosok ulama
yang memiliki karamah. Ia juga tidak pernah meninggalkan doa itu setiap kali
berdoa. Setelah mengetahui kisah ini dari Abon, saya sebagai penulis juga tidak
ingin meninggalkan doa tersebut setiap usai salat.
Bagian (4)
Pada tahun 2018/1438 H, tepat saat perayaan Maulid Nabi Muhammad
dan Haul Abu Lueng Ie Ke-26, saya mendapatkan kabar dari Umi Lailan. Ia seorang
murid Abu dari kalangan wanita, dan leting pertama.
Umi Lailan
menceritakan, pernah saat pelaksanaan ibadah suluk terjadi hujan lebat. Tim
yang memasak makanan untuk jamaah suluk merasa susah, sebab kayu bakar basah
terendam air. Di bagian belakang rumah Abu terdapat dapur suluk, tempat memasak
air dan menanas nasi. Karena tidak ada kayu yang kering, Abu perintahkan tim masak
agar menjadikan “boeh leuping” atau kelapa tua yang basah sebagai kayu
bakar. Dengan izin Allah, meskipun kayu dan kelapa tua dalam keadaan basah,
tetapi api tetap menyala sehingga makanan matang. Demikian karamah Abu, sebut
Umi Lailan kala itu.
Bagian (5)
Masyarakat Seulimum telah mendengar banyak cerita tentang karamah
Abu Lueng Ie. Seulimum sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Jaraknya sekitar
51 Km dari Kota Banda Banda Aceh, dan tempat Abu tinggal. Untuk membuktikan
kisah tersebut, satu rombongan dari Seulimum mendatangi kediaman Abu di Dayah
Darul Ulum Abu Lueng Ie. Ketika tiba di dayah, Abu menjamu mereka sambil
mengobrol.
Ketika waktu magrib hampir tiba, rombongan mohon izin pada Abu
untuk kembali ke Seulimum. Abu menahan mereka, supaya melaksanakan salat Magrib
terlebih dahulu dan pulang setelah salat selesai. Tetapi rombongan enggan salat
di dayah, mereka ingin melanjutkan perjalanan pulang dan salat dalam perjalanan
saja. Abu hanya tersenyum, dan berkata; ambil lah sebuah kayu.
Mereka pun mengambil dan menyerahkan kayu tersebut pada Abu. Abu menancapkan
kayu itu di tanah. Rombongan merasa heran dengan apa yang Abu lakukan. Mereka tidak
tahu tujuan Abu menancapkan kayu itu di tanah. Setelah itu baru Abu mengizinkan
mereka pulang.
Setengah perjalanan, kondisi alam mulai redup. Hujan mulai turun. Kondisi
jalan raya licin. Tiba-tiba supir mulai hilang kendali, akhirnya kendaraan
rombongan Seulimum keluar dari badan jalan hingga menepi di pinggir jurang. Semua
penumpang turun, dan melihat bagian depan mobil tertahan dengan sepotong kayu,
sehingga tidak jadi masuk jurang. Alangkah kagetnya mereka, kayu yang menahan
bagian depan mobil mereka adalah sepotong kayu yang tadinya Abu Lueng Ie
tancapkan di tanah saat rombongan masih di Dayah Abu Lueng Ie. Sejak saat itu,
baru lah mereka meyakini bahwa Abu Lueng Ie ulama yang memiliki karamah tinggi.
11. Pimpinan Dayah Lueng ie
Abu Lueng Ie pimpinan tertinggi dan pendiri Dayah Darul Ulum Abu
Lueng Ie. Berikut silsilah pimpinan Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie.
1. Tgk. Teuku Usman Al-Fauzi (Abu Lueng Ie)
2. Tgk. Zakaria Adami (Abu Zakaria, menantu Abu Lueng Ie)
3. Tgk. Teuku Tajuddin (Abon Lueng Ie, putra Abu Leung Ie)
4. Tgk. Teuku Muhibbuddin (putra Abu Lueng Ie)
Di bawah pimpinan dayah ada Ketua Umum Dayah yang membantu
pimpinan dalam pendidikan di dayah. Pada bagian ini saya hanya ingin
menerangkan santri yang pernah menjadi Ketua Umum di Dayah Darul Ulum Abu Lueng
Ie.
1. Tgk. Kalee
2. Tgk. Daud Hasbi, M.Ag (Abi Daud Hasbi)
3. Tgk. Muhammad Yusuf
4. Tgk. Murdani, S.Pd.I
5. Tgk. Yarmidin, S.Pd.I
6. Tgk. Fakhrurrazi, ST
7. Tgk. Amiruddin, S.HI (Abu Teuming)
8. Tgk. Muttaqin, S.Sy
9. Tgk. Mustaqim, S.E
Terakhir
dari tulisan ini. Buku “Biografi Abu lueng Ie” ditulis berdasarkan pengetahuan
penulis tentang Abu Lueng Ie. Beberapa narasumbernya antara lain, Tgk. Teuku Muhibbuddin,
Tgk. Teuku Tajuddin, Elda Safitri, Umi Lailan, Abi Daud Hasbi, Tgk. Harun
Ar-Rasyid. Juga referensinya Tgk. Abu Bakar El Langkawy. Ditulis oleh Amiruddin,
yang kerap disapa Abu Teuming. Dan masih aktif sebagai pengurus Dayah Darul
Ulum Abu Lueng Ie, Aceh Besar.
[1]
Sumber:
http://acehdalamsejarah.blogspot.co.id/2011/06/teungku-ahmad-dewi.html
[3]
https://id.wikipedia.org/wiki/Suluk
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
ReplyDeleteNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut