Santri dan Mahasiswa

Share:
Oleh Abu Teuming



Era modern penuntut ilmu dibagi dua golongan besar, pertama mahasiswa yang notabine belajar di universitas berbagai jenjang dan jenis. Kedua santri yang belajar di pondok pesantren. Keduanya punya kepentingan yang sama, yakni mencari ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Landasan menuntut ilmu juga berpacu pada hadis yang sama, yaitu penggalan teks “Menuntut ilmu itu wajib bagi muslimin dan muslimat”.

Kalau diperhatikan secara saksama, tentu kondisi mahasiswa memiliki perbedaan signifikan dengan santri. Tetapi kerap sekali mereka beranggapan belajar di kampus dan di pesantren sama saja.

1.      Dalam belajar, mahasiswa jenjang S1 kebiasaannya menerapkan sistem persen. Mahasiswa dituntut untuk lebih aktif menggali ilmu 75%, sedangkan sisanya 25% diberikan dari dosen. Cara ini memang cukup cocok untuk membuat mahasiswa lebih aktif menggait informasi. Namun dari sini akan memunculkan permasalahan fatal. Sebab dominan mahasiswa yang masuk perguruan tinggi dengan bekal ilmu yang minim, bahkan belum mengenal cara berfikir kritis.

Untuk memenuhi keinginan dosennya, mahasiswa akan membaca buku dan artikel di internet. Di sinilah peluang kekeliruan dalam memahami teks bacaan terjadi, terutama ilmu agama. Mahasiswa yang dangkal ilmunya akan mememahmi isi bacaan sesuai bekal ilmu yang ada pada dirinya, atau mencoba memahami tanpa bekal sama sekali. Akhirnya setan punya kesempatan untuk menyesatkan fikiran pelajar. Kondisi ini berlaku penggalan  hadis Nabi, “barang siapa yang belajar tidak ada guru, maka gurunya adalah setan”. Akhirnya mahasiswa berbicara sesuai kehendaknya, berargumen menurut pemahamannya yang terkadang keluar dari jalur maksud penulis, bahkan menyimpang dari rambu agama. Di sinilah terlihat ilmu mereka tidak memiliki sanad.

Sedangkan santri, secara totalitas dibimbing oleh gurunya, yakni ustadz, dalam bahasa Aceh disebut Teungku. Tidak ada istilah santri harus menggali ilmu 75% dari kitab dan bacaan lainnya. Semua ilmu baik ilmu tata bahasa arab, ilmu fikih, dan sebagainya tetap belajar pada guru, serta mendengar apa yang diajarkan oleh teungku sebagai wujud bahwa ilmu yang dipelajarinya mutawatir, sampai pada Rasulullah.

2.   Mahasiswa, hanya belajar dalam ruang dalam bentuk SKS, bisa 2 sampai 4 SKS. Keluar dari ruang mereka akan bebas. Selebihnya, mereka akan dapat ilmu kalau berkenan menghadiri kajian-kajian dalam bentuk seminar dan pengajian lepas.

Santri, setelah belajar dalam kelas, mereka akan dituntut naik kelas tambahan, dalam bahasa santri Aceh “balee meu ulang”. Santri akan mengulang pelajaran sebelumnya dengan pengawalan guru agar tetap pada pemahaman yang sama dan benar. Selama di pemondokan, tidak ada waktu terbuang kecuali untuk belajar.

      Mahasiswa, hanya di kawal oleh dosen ketika dalam kelas, baik penampilan dan moral. Bila keluar kelas, dosen tidak mau tahu apa yang mereka lakukan ketika berada di kos, asrama atau tempat-tempat lainnya. Dan sangat jarang dosen menjadi orang tua bagi mahasiswanya.

Sedangkan santri, sebelum masa libur belajar di pesantren, maka selama itu mereka berada dalam pengawalan guru atau pimpinan dayah. Guru tidak hanya memantau keilmuan mereka, tetapi memperhatikan gaya penampilan serta moral. Hidup di pesantren seperti hidup di rumah sendiri, sebab pimpinan pesantren adalah orang tua ketika santri tidak berkumpul bersama keluarganya.

    Sisi lainnya, mahasiswa hidup bebas di kos dan asrama, yang pengawalannya tidak begitu ketat. Tidak jarang mahasiswa yang tinggal di kos berkeliaran malam dengan tujuan yang kadang jauh dari kepentingan. Sadisnya, banyak mahasiswi yang bergaul dengan lelaki ajnabi di warung kopi atau tempat lainnya yang jauh dari standar syar’i.

Sedangkan santri hidup dalam pengawasan ketat, bahasa kerennya penjara suci. Di asrama yang kerap di sebut bilek (kamar), para santri menghabiskan waktu siang malam. Sangat jarang mereka keluar dari penangkaran untuk melihat kehidupan bebas di luar sana. Kondisi ini membuat mereka jauh dari angan-angan dunia. Dalam benak mereka hanya mencari kebahagian akhirat, sedangkan keuntungan dunia pasti akan menyusul tanpa harus difikirkan. Sesuai pesan Tuhan, Allah telah menjamin rezeki seorang hamba.

5    Mahasiswa lebih merepotkan orang tua, mereka perlu ada benda-benda mewah semacam androit, komputer, dan kendaraan. Belum lagi pernak pernik lainnya yang menambah kece penampilan. Dengan benda-benda canggih itu mahasiswa bisa mengelilingi dunia lewat internet, tak jarang mereka berjumpa dengan hal negatif dan positif meski hanya menyendiri di kamar kos.

Sebagian mahasiswa tak pernah memiliki buku hingga S1 selesai. Penulis teringat ucapan dosen semasa kuliah, mahasiswa S1 itu minimal harus miliki dan baca 70 buku. Padahal buku itu jendela dunia. Pertanyaannya, adakah Anda memiliki dan membaca 70 buku?

Abu Teuming

Santri itu dikekang, selama di pemondokan tidak boleh mereka menggunakan alat eloktronik semacam androit, komputer, dan sebagainya. Kekayaan mereka hanyalah kumpulan kitab dan pakaian. Tidak ada santri yang masuk pesantren tanpa membawa kitab. Semua jenis kitab mereka memiliki. Bila buku jendela dunia, maka kitab adalah jendela dunia dan akhirat.

6.      Mahasiswa diberi batas waktu dalam belajar, bila tidak selesai dalam tempo tahun tertentu atau 14 semester, ia pasti dikeluarkan dari universitas, dalam bahasa keren DO. Kondisi lainnya, mahasiswa kerap melakukan plagiasi dalam mengemban tugas kampus seperti makalah dan karya ilmiah lainnya.

Berbeda jauh dengan santri, selama mereka masih ingin belajar, tidak pernah terbesit bagi guru untuk mengusir mereka dari pesantren. Ini lah hakikat menuntut ilmu sesungguhnya, tidak ada batas waktu kecuali maut yang memisahkan.

7.      Ruang belajar mahasiswa lebih dominan satu tempat yang di dalamnya ada lelaki dan perempuan tanpa dinding penghalang. Sedikitnya maksiat kecil pasti akan muncul walau dalam bentuk pandangan. Bahkan tak jarang pakaian mahasiswi jauh dari tuntunan agama yang justru dapat menarik perhatian lelaki.

Sedangkan santri, bila belajar jelas dipisahkan antara kelas laki-laki dan perempuan, tidak ada saling berinteraksi di antara mereka. Bahkan di beberapa pesantren memiliki pemondokan terpisah antara lelaki dan wanita.

8.      Mahasiswa dengan gelar sarjananya yang bergengsi kerap berharap lapangan kerja pada pemerintah. Tak jarang pemerintah direpotkan dengan jumlah pengangguran yang kian melangit.

Santri jarang mengemis pada pemerintah. Tidak pernah mereka berharap belahan kasian pemerintah dalam bentuk beasiswa. Tidak pernah mereka mengkritisi pemerintah sebab ketersediaan lapangan kerja yang terbatas. Pulang menuntup ilmu, mereka hanya mencari rezeki di bumi Tuhan dengan melaut, berladang, dan berdagang. Kecil sekali keinginan mereka untuk mendapat jatah kerja di jajaran pemerintah.

9.      Mahasiswa ketika menyelesaikan skripsi dituntut mengambil hadis langsung dari kitab asli semacam “Shahih Bukhari”. Memang ini prinsip yang baik, ternyata banyak mahasiswa berdusta dengan mengambil hadis dan teks kitab di internet, tapi memberikan nomor dan halaman pada catatan kaki seolah mangutip dari kitab asli. Setelah penulis teliti beberapa karya ilmiah mahasiswa, banyak yang tak sama halaman pengutipannya. Bahkan ada yang mengada-ngada dalam hal sanad hadis dengan mencantum nama shahabat yang tidak merawi hadis berkaitan. Khawatirnya mahasiswa ini akan menjadi pendusta kelas kakap yang tanpa sengaja telah membuat hadis palsu dan dusta atas nama agama. Sadisnya, ketika sidang munaqasyah justru lulus dengan nilai memuaskan. Akhirnya mereka berhak menyemat gelar sarjana agama, Sarjana Hukum Islam (S.HI), Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I), Sarjana Tafsir Hadis (S.TH) dan berbagai gelar yang menunjukkan mereka lebih ahli di bidang agama ketimbang santri. Jika mau jujur, sebagian besar lulusan kampus agama khusus jenjang S1 tidak mampu membaca kitab kuning, bahkan tata bahasa Arab pun tidak dikuasai. Namun ada satu hal yang patut diberi jempol, mahasiswa banyak yang hafal Alquran.

Mirisnya, sebagian mahasiswa tidak mampu membuat skripsi padahal sudah menuntut ilmu minimal empat tahun. Dan yang lebih menyedihkan lagi, sang dosen bersedia membuat skripsi mahasiswanya asal dapat bayaran.

Santri tidak pernah dibebankan tugas semacam skripsi. Mereka hanya dituntut mampu menguasai kitab minimal I’annatuthalibin, dan siap memberikan tausiah di depan umum.

10.  Beberapa karya ilmiah atau skripsi, mencoba memberikan kejelasan hukum terhadap masalah kontemporer. Dimana mahasiswa dituntut untuk menggunakan metode ushul fiqh agar dapat menghasil produk hukum yang baru. Padahal, untuk mengeluarkan sebuah hukum melalui jalan ijtihad, mestilah hafal Alquran dan Hadis, mampu memahami tata bahasa Arab, paham dengan nasahk dan mansuhk, serta beberapa aturan lainnya yang super ketat. Tapi dengan sangat enteng mahasiswa menghasilkan hukum baru dengan menggunakan pendekatan ushul fiqh. Sekaliber Imam Ibnu Hajar Alsqanli saja tidak berijtihad membuat mazhab sendiri, melainkan berijtihad dalam mazhab yaitu, mazhab ImamSyafii.

Berbicara masalah hukum atau isu-isu kontemporer, santri tidak pernah menjawab permasalahan dengan menggunakan sendiri ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya. Tetapi mereka tetap merujuk pada kitab-kitab klasik dengan menjelaskan suatu hukum sesuai yang dihasilkan oleh ulama tempo dulu.

Akhir artikel, tak semuanya mahasiswa demikian dan sedikit sekali santri tidak demikian. Penulis ingin menampilkan pernyataan seorang guru besar, Prof. Dr. Syamsul Rizal dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh Lingkar Publik Institut di Banda Aceh. Beliau berucap, “seorang dosen harus menjaga dan memantau karakter mahasiswanya”.


Abu Teuming
Direktur LSM Keluarga Sakinah Mawaddah dan Rahmah (K-Samara)

5 comments:

  1. Yaya...
    Disitulah gunanya mahasiswa harus konfirmasi ulang ke dosennya terhadap apa yag dia baca. Bisa diblang harus berdiskusi lagi.
    Makanya terkadang dosen di Pergurun tinggi perlu menerapkan pola belajar diakusi. Bukan mendikte. Itu menurutku.

    Salam | #Sikonyol

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jarang terjadi saling konfirmasi, apalagi kalau nilai final sudah keluar. Semua dianggap selesai.

      Delete
  2. Ada ya dosen yang mau membuat skripsi mahasiswa dengan bayaran? Kalau begitu dosennya, anak bimbingannya seperti apa ya? malah nanti dosennya yang disidang.

    ReplyDelete
  3. Ada. Banyak dosen yang demikian, bahkan memang wajib dosen yang buat skripsinya. Hanya sediakan uang saja semua beres.

    ReplyDelete
  4. Pada hakikatnya, ilmu tak kan habis jika kita terus menggalinya. Semakin jauh kita menggali maka akan semakin fakir ilmu yang dimiliki.

    ReplyDelete

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.