Dodaidi Budaya Aceh yang Hampir Punah

Share:
Sumber: Sudarliadi

Oleh : Amiruddin

Aceh merupakan daerah kaya khazanah sejarah dan kebudayaan. Banyak aktivitas sejarah dan budaya penting yang menjadi kearifan lokal bagi masyarakat Aceh, terutama dalam usaha membangun peradaban Islam.

Islam dibawa dan disebarkan ke Aceh dengan berbagai cara, salah satunya melalui perkawinan. Selanjutnya, anak yang lahir dari hasil perkawinan tersebut dididik melalui unsur-unsur yang juga bernuansa islami. Salah satu metode ringan yang biasa digunakan adalah Dodaidi.  Dodaidi berasal dari bahasa Aceh, yaitu “doda” dan “idi”. Doda atau peudoda yang berarti bergoyang, dan idi atau dodi yang berarti berayun.

Dodaidi merupakan upaya orang tua atau ibu untuk menidurkan anaknya, diiringi lantunan syair-syair dalam bahasa Aceh. Untuk kegiatan dodaidi biasanya membutuhkan beberapa alat seperti kain sarung atau selendang, dan tali yang digantungkan pada bara kayu. Tidak jarang pula digantungkan di pohon-pohon depan rumah sehingga kenyaman tidur si bayi lebih terasa, atau agar mudah diawasi oleh ibu  yang melakukan kegiatan ringan di halaman rumah.

Rumah Aceh yang  berkonstruksi kayu, berarsitektur panggung, dan terdiri atas  tiang-tiang tinggi sangat memungkinkan ibu-ibu zaman dahulu mengikat ayun di bawah lantai rumah. Hal tersebut dapat dijumpai hampir seantero Aceh.

Kebiasaan masyarakat Aceh, Dodaidi hanya dilakukan pada siang hari. Mungkin si ibu hendak mengerjakan pekerjaan rumah, maka agar pekerjaannya dapat dikerjakan tanpa gangguan si anak, sang ibu menidurkan anaknya terlebih dahulu dengan metode Dodaidi.

Ada pesan terindah dibalik syair Dodaidi. Itulah sebabnya masyarakat Aceh sangat menyukainya. Banyak seniman yang telah menghabiskan waktunya untuk memajukan peradaban, sehingga senandung pengantar bayi tidur tersebut masih terpelihara dan tercatat sampai sekarang.

Sayangnya, karya yang  sarat dengan nilai-nilai agama itu sekarang kurang diminati, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada lagi. Apalagi dipengaruhi oleh modernisasi yang semakin meresahkan. Para ibu lebih menyukai cara terbaru saat menidurkan anaknya. Terkadang caranya tidak memberikan kebaikan bagi anak. Ibu zaman sekarang lebih senang mengayunkan bayinya dalam ayunan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang remote control seraya menyaksikan gosip selebriti kesayangannya.

Belum lagi ibu-ibu yang menyandang status wanita karier. Kesibukan kerja membuat mereka harus menitipkan anak pada pembantu. Kini, sudah banyak pula digunakan ayun elektronik. Melalui metode baru ini, tidak perlu bersentuhan dengan ayunan. Sang ibu  cukup menekan remote control dari jauh untuk menggerakkan ayunan.

Sumber: olx.co.id

Realita di atas tentu kita tidak mungkin berharap  banyak agar terjalin  hubungan batin antara anak dan ibu. Sebaliknya, ikatan batin keduanya terus berkurang. Padahal, untuk mengaplikasikan syair-syair Dodaidi butuh kolaborasi antara si ibu dengan anak. Seperti syair berikut, “Allah hai do dodaidi, boeh gadong bi boeh kayee uteun, rayeuk sinyak hana peue mak bri, ayeb ngoen keji ureung donya kheun. Wahe aneuk bek taduk le, beudoeh saree tabila bangsa, bek tatakot keu darah ile, adak pih mate poma karela.”

Walau anak hampir ketiduran sebab merdunya lantunan syair oleh ibu, terasa ibu dan anak saling berinteraksi. Ada pesan moral  mendalam untuk si anak saat dewasa kelak. Meskipun syair tersebut berbaur politik yang membuat anak kadang tidak memahaminya. Tetapi itulah pesan moral yang merupakan turunan  perintah agama, sehingga menjadikan watak masyarakat Aceh keras bila agama mereka ditindas.

Seiring terjadinya perubahan zaman yang semakin modern, syair Dodaidi yang dikenal telah melahirkan generasi yang berbudi luhur, kini telah hilang ditelan arus globalisasi yang merajai Aceh saat ini. Masyarakat saat ini, khususnya kaum milenial telah lupa pada budaya Aceh ini, sehingga menjadikan kita terus mengikuti arus tanpa menyadari manfaat dari makna-makna yang telah kita punahkan.

Konsep dasar pendidikan Islam menganggap bahwa proses pendidikan mulai dari bayi usia dini sampai kematian seseorang. Mungkin konsep pendidikan seumur hidup telah mengilhami budaya Aceh untuk menambahkan pesan pendidikan dalam lagu Dodaidi. Tentu saja, metode ini juga diakui dalam konsep pendidikan modern seperti yang diterapkan dalam gaya bermain kelompok melalui lagu pengantar tidur yang berbeda.

Memperkenalkan pendidikan agama Islam merupakan kewajiban bagi orang tua. Itulah sebabnya pesan agama selalu ditemukan dalam lagu Dodaidi. Tujuannya untuk memperkenalkan anak-anak dengan Allah dan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu, umumnya semua syair Dodaidi diawali dengan asma Allah, seperti “Allah hai Do dodaidi”. Sedangkan yang lainnya dimulai dengan frasa lengkap melafazkan ke-Esaan Allah, seperti, “Laa Ilaaha Illallah”, artinya tidak ada Tuhan selain Allah.

Sumber: AJNN

Demikian indahnya budaya Aceh yang satu ini. Sebagian besar perilaku masyarakat dan karya seperti syair tersebut selalu bersandarkan pada Alquran dan hadis.

Rasulullah bersabda, “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat.” Sungguh pesan nabi dalam hadis ini telah diamalkan oleh masyarakat Aceh sejak dahulu melalui Dodaidi. Memang ketika syair Dodaidi dilantunkan, bukan si cabang bayi yang mempelajarinya sendiri, melainkan sang ibu yang melantunkannya dengan penuh harap untuk kebaikan si anak pada masa mendatang.

Bagaimana pun juga, sedikit banyak anak akan memahami maksud sang ibu. Karena itu, tutur dan perilaku orang tua sangat mempengaruhi watak anaknya, sehingga jika perilaku orang tua tidak baik, maka tidak jarang pula anaknya berperilaku hal yang sama saat bermasyarakat. Bahkan dalam ilmu kedokteran dinyatakan perilaku orang tua mempengaruhi janin dalam kandungan. Seperti pepatah menyebutkan, “Kiban bruek meunan bhoi”, artinya kue itu sesuai bentuk loyangnya. Dalam pepatah lain disebutkan, “Anak adalah cerminan orang tua”. Namun tidak semuanya demikian.

Di Aceh Tamiang pernah diadakan lomba dodaidi. Panitia mempersiapkan peralatan sebagaimana penulis sebut di atas. Namun yang menarik di even tersebut adalah panitia memutar rekaman bayi sedang menangis, sedangkan para kontestan berasal dari kalangan perempuan muda. Perempuan muda itu menggendong bantal, seolah-olah bayi sedang menangis dan berupaya menenangkan, mendiamkannya, sambil men-dodaidi diiringi syairnya.

Budaya Dodaidi harus kembali dihidupkan demi terjaganya warisan indatu Aceh. Sehingga menjadikan Aceh sebagai daerah yang sangat khusus dan istimewa di antara provinsi lain di Indonesia. Agar generasi muda dan para milenial berminat mengamalkan kembali petuah tersebut, ada baiknya Dodaidi dijadikan sebagai cabang budaya Aceh yang patut diperlombakan pada ajang-ajang bergengsi. Seperti saat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), dan even penting lainnya, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan.

No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.