Menikah Menghindari Kegelisahan Jiwa

Share:

oleh: Abu Teuming
(Mahasiswa Magister Hukum Keluarga Islam Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Aceh)

Banyak penjabaran ulama terkait defenisi pernikahan. Namun dalam kitab Ahwal Al-Syakhshiyyah, karangan Syeikh Muhammad Abu Zahrah, secara umum pernikahan diartikan sebagai akad yang membuat suami dan istri berhak menikmati satu sama lain dengan cara halal dan sadar.

Meskipun hal itu menjadi tujuan sebagaimana dipahami oleh masyarakat umum, tapi kehalalan bersetubuh secara sah bukan merupakan tujuan utama pernikahan. Lebih dari itu, tujuan menikah untuk melestarikan hukum Islam, mejaga adat istiadat, sekaligus bentuk ketaatan hamba kepada Allah. Bahkan tujuan paling agungnya adalah melahirkan keturunan yang baik sebagai pelestarian manusia.

Konsep pernikahan dalam Islam untuk memberikan ketenangan dan kebahagiaan bagi manusia yang menghadapi berbagai dinamika kehidupan. Dengan adanya pasangan, persoalan dunia yang bukan problematika rumah tangga dapat memberikan ketenangan saat dihadapi bersama. Hal ini senada dengan firman Allah dalam Surat Ar-Rum ayat 21, "Dan inilah tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia menciptakan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri, agar kalian merasa tenteram di antara kalian, dan Dia jadikan di antara kalian rasa kasih sayang dan belas kasihan."

Pernikahan tidak boleh dianggap sebagai jalan memuas hawa nafsu, tapi menjadi wadah untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar. Rasulullah bersabda, "Dan pernikahan adalah sebagian dari sunnahku." Cakupan kemaslahatan yang akan dicapai dalam pernikahan adalah terjaganya tatanan sosial, hukum, adat, dan agama sebagai dasar utama umat Islam.

Pernikahan dijiwai dengan penghormatan religius, di mana seseorang merasa bahwa pernikahan adalah ikatan suci yang melampaui kemanusiaannya. Melalui ikatan agung tersebut, jiwa anak Adam akan tenteram dan keataan pada Allah tetap maksimal. Dalam istilah lain disebut "Relaksasi hati dan penguatan ketaatan."

Jiwa manusia kerap gelisah dan rentan terhadap penolakan, karena memang sudah kodratnya untuk melawan. Jika dipaksa untuk terus menerus melakukan apa yang diinginkannya, ia akan memberontak dan menjadi gelisah. Apalagi kegelisahan itu dirasakan oleh pria, maka ketika dia sudah menikah tentu akan lebih mudah mendapatkan ketenangan saat bersama wanita yang telah jadi istrinya.

Dalam kehidupan sosial, keluarga adalah unit pertama membangun masyarakat hingga level negara. Harmonisasi dalam keluarga akan berdampak pada terbentuknya rasa keakraban dan persaudaraan manusia, sehingga kehidupan publik berjalan secara baik tanpa terabaikan hak dan tanggung jawab.

Islam menghendaki banyaknya populasi manusia muslim sebagai pewaris agama dan penegak keadilan di bumi, tentu manusia yang memiliki karakter idealis dan cinta Islam yang dibentuk melalui keluarga islami.  Nabi Muhammad pernah berpesan pada sahabat, "Menikahlah dengan perempuan yang penuh kasih dan subur." Ini menjadi penekanan bahwa umat Islam mesti menikah dan memiliki banyak keturunan,

Pernikahan menimbulkan tanggung jawab besar bagi suami atau istri, seperti mendidik anak, memenuhi kebutuhan dan pendidikan, serta memenuhi kewajiban lainnya. Melalui ikatan nikah, akan menjauhkan manusia dari perbuatan tercela. Al-Ghazali menyebutkan konsekuensi menikah yaitu, "Perlindungan dan pemeliharaan, pemenuhan kebutuhan keluarga, pemeliharaan akhlak mereka, menanggung segala kerusakan yang ditimbulkannya, berusaha memperbaiki mereka, dan membimbing mereka ke jalan yang benar."

Pernikahan menjadi perwujudan hasrat manusia berupa stabilitas kehidupan, keamanan, dan kedamaian jiwa serta berbudi pekerti luhur. Bahkan, menikah termasuk kewajiban sosial. Orang yang enggan menikah berarti telah lari dari kewajiban sosial, seperti tidak ikut menata rumah tangga yang semesti berdampak positif bagi kehidupan bernegara.

Alasan yang penulis rangkum di atas merupakan dasar utama agar pemuda menikah dan menghindari hidup membujang. Nabi bersabda, "Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, hendaklah ia menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan. Barang siapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa akan menjadi perisai baginya."

Pada akhir pembahasan, Muhammad Abu Zahrah menerangkan bahwa Rasulullah tidak menghendaki umatnya beribadah secara continuity tanpa istirahat atau tiada menyiapkan waktu bersama istri dan anak. Bahkan nabi tidak senang terhadap umatnya yang menghindari menikah, karena pernikahan adalah sunah nabi yang mesti diikuti.

No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.