Wisata Religius Islami
Oleh Amiruddin
WISATA adalah kegiatan perjalanan yang
dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu
untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya
tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu tertentu, sehingga dengan
melakukan wisata dapat memperoleh ketenangan dan kebahagian tersendiri.
Sejarah telah mencatat Aceh sebagai daerah
pertama masuknya Islam ke Nusantara, bahkan Asia Tenggara sekalipun. Islam
telah memperkenalkan Aceh sampai ke dunia luar, tak heran jika banyak orang
yang berkunjung ke Aceh dengan berbagai macam tujuan. Aceh telah menjadi pusat
ilmu pengetahuan agama di abad 16 Masehi dengan munculnya ulama-ulama terkemuka
dari mazhab Imam Syafi’i rahimahullah, sehingga tidak mustahil jika sekarang
masih terdapat masyarakat Aceh yang kental dengan ritual keagamaan dari fiqih
Imam kelahiran Palestina itu.
Salah satu Ulama karismatik terkenal di era
awal kemerdekaan adalah Teungku Teuku H. Usman Al-Fauzy atau yang lebih
masyhur dalam masyarakat dengan sebutan Abu Lueng Ie yang bermaksud Abu di
Lueng Ie, merupakan salah satu desa yang terletak dalam kecamatan Krueng Barona
Jaya kabupaten Aceh Besar berbatasan lansung dengan kecamatan Ulee Kareng Kota
Banda Aceh.
Abu Lueng Ie merupakan keturunan terhormat dari
kalangan Teuku, beliau lahir tahun 1921 M di gampong Cot Cut Kecamatan Kuta
Baro Aceh Besar. Nama akhir beliau Al-Fauzy merupakan laqab yang
diberikan oleh gurunya Abuya Muda Waly, yang bermakna tembus dari cobaan dan
ujian. Abu Lueng Ie memiliki hubungan erat dengan Abuya Muhammad Muda Waly
Al-Khalidi, hubungan keduanya sebagai guru dan murid. Abu Lueng Ie adalah murid
keasayangan Abuya, bahkan sebagian sumber menyebutkan beliau adalah pemegang
kas dayah semasa menentut ilmu di Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan.
Setelah menentut ilmu di Labuhan Haji selama
delapan tahun, kemudian beliau menjadi
guru di dayah Kalee Pidie selama tiga tahun, selanjutnya menjadi guru di dayah
Lam Ateuk, namun tidak berlangsung lama karena keinginannya untuk mendirikan
dayah yang diberi nama Darul ‘Ulum (Kampung Ilmu) sekitar tahun 1960, belakangan dikenal Darul ‘Ulum Abu Lueng.
Sejak berdiri dayah tersebut telah banyak mencetak ulama-ulama di sekitar dayah.
Selain sebagai pimpinan dayah, Al-mukarram Abu Leung Ie juga sebagai Mursyid
dalam thariqat naqsyabandiyyah. Hal ini membuat ia memiliki banyak murid
dan pengikut hampir di setiap kabupaten di Aceh.
Selain sebagai ahli fiqih beliau merupakan
ulama tasawuf yang sangat kuat menjalankan ibadah. Hari-harinya disibukkan
dengan mempraktekkan nilai spritual agama sehingga menghantarkan beliau sebagai
hamba yang rendah hati dan tawadhu’. Sumber menyebutkan beliau sering
mengasingkan diri ke sebuah kamar untuk berzikir hingga tiba saatnya azan
magrib berkumandan, hal ini dilakukan sepanjang hayatnya. Sejarah telah
membuktikan tingginya ilmu beliau, bahkan jika beliau mengajar kitab kuning,
seumpama I’annatu Thalibin atau Al-Mahlli maka dapat mengajar
tanpa harus membuka kitab (membaca teks), hal ini menjadikan muridnya semakin
kagum.
Sifat tawadhu’nya telah menjadikan Abu
Lueng Ie hamba yang selalu tabah dan sabar dalam menghadapi segala tantangan
kehidupan. Suatu ketika pernah seorang yang tidak menyenangi beliau melemparkan
kotoran manusia ke dalam kulah (tempat berwudhu’) santri di dayah
tersebut. Tidak serta merta beliau marah kepada orang yang telah melakukan
kesalah seperti itu, akan tetapi beliau meresponya dengan penuh ketabahan dan
kesabaran. Berkat ke’aliman dan sifat sabarnya serta dengan izin Allah yang
Maha Kuasa air kulah yang delempari kotoran manusia pada suatu hari menjadi
obat, sehingga pernah tersebar kepada masyarakat “Ie kulah Abu Lueng Ie jeut
keu ubat penawa”, artinya air kulah Abu Lueng Ie dapat menjadi penawar (lihat
Ensiklopedi Ulama Besar Aceh).
Terakhir penulis mendapatkan informasi dari
anaknya Tgk. T. Tajuddin terkait ketabahan Abu Lueng Ie. Ia menceritakan disela-sela
memberikan pelajaran suluk pada jama’ah yang akan dipindahkan pelajaran suluknya.
Abu menikah pada usia 35 tahun dengan gadis yang masih berusia 20 tahun-an. Kesenjangan
usia ini membuat si gadis tak suka terhadap Abu Lueng Ie, namun ikatan
pernikahan mereka terus berjalan karena Ayah perempuan tersebut bercita-cita
mendapatkan menantu teungku. Bahkan ketika Abu hendak mendekati
isterinya, sang isteri selalu mengelak dari ajakan suami, kejanggalan ini terus
berlanjut bertahun-tahun. Tetapi Abu tetap meresponnya dengan sabar dan
menganggap isterinya itu masih anak-anak. Untuk mengisi kekosongan tersebut Abu
Lueng Ie mengasingkan diri untuk berzikir sampai larut malam. Suatu ketika
isterinya mengintip aktivitas Abu di tempat biasa ia lakukan zikir. Isterinya melihat
Abu Lueng Ie duduk di atas cahaya yang tidak rata dengan lantai, hal itu
disebabkan zikir beliau yang sanggat tinggi. Peristiwa tersebut menyadarkan
sikap isteri yang selama ini terkesan durhaka pada suami, sehingga membuat
hubungan pernikahan keduanya sakinah mawaddah warahmah. Berlandaskan fenomenal
ini, isteri Abu Lueng berpesan kepada anaknya yakni Tgk. T. Tajuddin; “Tajuddin,
beu kateupee, Abu kah nyan auliya, bek sagai-sagai ka lawan kheun Abu” (
Tajuddin, kamu harus tau, Ayahmu itu auliya, jangan sekali-kali kamu bantah
nasehat Abu).
Semasa hidup, beliau memimpin jalannya ibadah
suluk pada bulan tertentu. Suluk biasa diamalkan pada bulan Ramadhan, karena
bulan tersebut memiliki banyak keutamaan, juga pada bulan haji (Idul Adha) dan terkadang
suluk juga dilakukan pada awal bulan maulid (rabi’ul awal) yang masih
dipertahankan sampai sekarang oleh putranya Teungku Teuku Tajuddin (Abon).
Manusia tidak selamanya dapat mempertahankan
kebahagiaan hidupnya di dunia, oleh karena itu manusia memerlukan ketenangan
hidup di dunia dan akhirat. Salah satu cara yang biasa dilakukan oleh manusia untuk
ketenangan dirinya, baik karena kesibukannya terhadap aktifitas sehari-hari
yang membebani fikiran yaitu berwisata ke tempat-tempat indah yang dapat menenangkan
jiwa dan hatinya. Ada pula orang yang resah dengan kehidupan dunia, mereka
melakukan wisata ke pantai, gunung dan tempat hiburan yang diyakinan membuat
hidup mereka lebih berwarna bahkan enjoy.
Sebagian orang saat hati mulai gelisah, jiwa
mulai tidak tenang dan fikiran sudah tidak menentu arah, maka jalan yang mereka
tempuh untuk memperoleh ketenangan jiwa yaitu dengan mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT banyak cara yang ditawarkan
oleh Rasulullah SWA, kadang manusia dapat membuat hidupnya tenang hanya dengan
sedekah, membaca Al-Qur’an, beramal sunat selain ibadah wajib, selalu
melaksanakan shalat berjama’ah di awal waktu termasuk bertaubat kepada Allah
SWT.
Suluk merupakan salah satu jalan untuk
bertaubat kepada Allah SWT. ritual suluk hanya dapat diperoleh di dayah-dayah
tertentu dan hanya diamalkan oleh ulama tertentu pula. Dayah Darul ‘Ulum Abu
Lueng Ie termasuk salah satu dayah yang melayani ibadah suluk di Aceh. Mereka
yang meyakini ketenangan hanya dapat diperoleh dengan mendekatkan diri kepada
Allah, maka dengan penuh kesadaran menghadiri ritual agama yang satu ini di
Darul ‘Ulum Abu Lueng Ie.
Realita telah membuktikan, harta yang banyak
tidak selamanya dapat membuat hidup seseorang menjadi tenang, pangkat yang
tinggi belum tentu memberikan kenyaman dalam hidup, hal ini mendongkrak banyak
orang untuk mengunjungi tempat-tempat wisata baik di dalam dan luar negeri,
mabuk-mabukkan dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk hiburan, mereka rela
menghabiskan berapapun biayanya demi mendapat ketenangan fikiran, hati yang
gembira, alhasil kesenagan dan kegembiraan yang diperoleh hanya sesaat dengan
modal yang cukup besar, bahkan bukan kesenanga yang diperoleh, tetapi kerusakan
moral dan aqidah.
Pada hakikatnya, tidak ada seorangpun boleh
terlepas dari masalah kehidupan, itulah sunnatullah yang berlaku di dunia. Kekayaan,
pangkat dan kedudukan tidak akan mampu membentenginya. Akan tetapi islam
sebagai agama rahmatanlil’alamin memberikan solusi terhadap manusia yang
mengalami tekanan hidup agar jiwa menjadi tenang. Tidak ada istilah stress atau
kecewa bagi seorang Mukmin, karena islam telah memberikan penyelesaian untuk
mengatasi tekanan hidup, seperti bersedekah, menjalin silaturrahmi, membaca
Al-Qur’an termasuk tinggal di dayah.
Mengingat Pemerintah Aceh terus mencanangkan
Visit Aceh 2015, untuk menarik wisatawan domestik dan internasional, dengan
topik utama “Wisata Bahari dan Religi”, maka tepat rasanya jika menjadikan
Darul ‘Ulum Abu Lueng Ie sebagai bagian dari wisata religi, karena tempat
tersebut masih menjalankan ritual suluk sebagai bentuk wisata hati (ketenangan
hidup), selain itu masih terdapat benda-benda bernilai sejarah seperti makam
Abu Lueng Ie berdampingan dengan makam istrinya yang banyak dikunjungi warga sampai
sekarang. Inti wisata religi adalah ketenangan jiwa dan hati yang akan
diperoleh oleh wisatawan, sehingga menjadikan mereka hamba yang selalu mencari
jalan untuk mendekatkan diri kepada sang khaliq.
Mengunjungi makam para ulama juga akan
melahirkan kesadaran tersendiri bagi wisatawan, apalagi dapat mengambil
pelajaran dari suatu peristiwa. Penting bagi manusia berziarah ke makam, karena
hal itu dapat mengingatkan manusia akan kematian, sehingga termotivasi agar
mempersiapkan diri dengan berbagai amalan sebelum datangnya utusan Allah SWT
(Malaikat Izrail).
Wisata religi di Aceh adalah wisata yang
berkembang, salah satunya Seminar Tauhid Tasawuf Internasional di Bumi Tasawuf
Aceh Selatan yang diselenggarakan setiap tahun. Orang Malaysia juga banyak yang
berkunjung untuk mengikuti kebiasaan warga Aceh dalam melakukan ibadah puasa
Ramadhan. Maka tidak ada salahnya jika menambahkan Darul ‘Ulum Abu Lueng Ie
dalam daftar objek wisata religi lainya. Semoga.
Amiruddin,S.HI. Ketua Umum Dayah Darul ‘Ulum
Abu Lueng Ie. Staff TPQ Terpadu Al-Usrah MIN Merduati Banda Aceh.
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.