Karya Abu Teuming
HARI itu, seorang pria
setengah baya, di bawah terik matahari ia melangkah pelan menuju sebuah mesjid.
Memang, saat itu tepat waktu shalat jum'at tiba. Ia menaiki tangga mesjid. Saat
kakinya mendarat di lantai, ia berdiri lama. Seorang pria berbaju gamis di
sudut lainnya terus memperhatikan gerak geriknya. Ntah kenapa pria bersarung
kuning tua itu berdiri di pintu mesjid dengan durasi lama. Di dekat tangga itu
terlihat sebuah celeng. Tempat orang memasukkan sedekah tiap kali jum'at. Pria bersarung
itu masih di depan tabungan yang agak sedikit besar. Lama ia menguak tutup
celengan yang terbuat dari kayu jati. Sepertinya ia ingin membuka. Pria baju
gamis di sudut mesjid tak begitu jelas menatap apa yang ia kerjakan dengan
kotak tabungan.
Tak lama kemudian ia
pergi, menunaikan shalat penghormatan mesjid.
Pria yang berbaju gamis
ternyata khadam. Usai shalat jum'at ia memeriksa tabungan itu. Tak begitu
banyak helaian uang kertas. Yang banyak hanya duit logam putih kuning nilai
lima ratus rupiah dan seratus rupiah. Satu lagi, ia lihat kertas biru, uang cantik.
Bukan rupiah. Sepertinya mata uang asing.
Ia mulai curiga. Tak
biasanya kotak amal kosong, biasanya dengan uang kertas. Pria itu menemukan
uang kertas warna biru, ntah berapa nilainya, tertulis ringgit Malaysia. Merasa
berang, ia pun mencari pria bersarung ke rumah. Kebetulan ia tau rumahnya.
"Apa yang kau
lakukan tadi di kotak amal mesjid?", tanya ia penasaran.
Pria bersarung itu masih
heran. Sejenak ia berfikir. "Saya hanya memasukkan sedekah dalam kota
itu", jawabnya yakin.
"Ah! Bohong.
Engkau mengambil uang tabungan mesjid kan?", tanya pria to the poin.
"Tak. Saya memasukkan
uang sedekah kecilku."
"Memang saya tak
punya selembar rupiah pun saat ini. Hanya ada kertas biru, pemberian orang
sebagai oleh-oleh dari negeri Jiran. Saya pun sedekahkan benda itu ke mesjid
tadi saat jum'at.”
Pria bergamis terdiam.
"Lalu kalau tak ada uang sepeserpun kenapa tak menggunakan untuk makan
saja uang asing itu?."
"Saya terbiasa
sedekah hari jumat walau jumlah kecil. Hari ini yang saya punya hanya uang
ringgit. Saya tak tau itu bernilai atau tidak. Yang saya inginkan, jangan ada
hari jum'at yang saya lewati tanpa bersedekah walau jumlahnya kecil,"
ucapnya sedih.
"Saya tak sanggup
mempertanggung jawabkan kelak dihadapan Allah tentang harta yang tak
disedekahkan," sambungnya mengeluh.
Pria itu terdiam. Ia
merasa malu. Bahkan lebih malu lagi saat ini ia punya lumayan uang di rumah.
Walau khadam mesjid. Ia sendiri sangat jarang bersedekah. Lalu ia pamitan dan
pulang ke rumah. Dengan langkah gontai ia terus menjauh.
Penulis
adalah penerima penghargaan pada lomba cerpen di Konferensi Nahdatul Ulama
Cabang Maroko tahun 2016. Dan salah satu penulis buku antologi “Sepenggal Kisah
di Lorong Pesantren”.
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.