Foto: koleksi pribadi
Aceh memiliki banyak budaya yang jarang dimiliki oleh daerah lain. Kekayaan budaya di ujung barat pulau Sumatra telah dikenal luas hingga mancanegara. Budaya yang berkembang di Aceh tidak terlepas dari nilai-nilai Islam. Sebab kehidupan masyarakat Aceh sarat dengan keimanan dan ketakwaan.
Salah satu budaya Aceh yang masih dipraktikkan oleh masyarakat adalah Dalail Khairat. Dalail Khairat merupakan nama kitab karangan ulama terkenal di Magrib, Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman Aljazuli. Hidup tahun 807-870 Hijriah. Kitab berusia ratusan tahun ini mengajarkan tata cara bersalawat dengan indah pada Nabi Muhammad. Dan diyakini bahwa muslim yang rajin membaca Dalail Khairat nanti akan dekat bersama Rasulullah di akhirat.
Kitab legendaris ini berisikan zikir, doa, dan salawat pada Nabi Muhammad. Namun teks salawat lebih dominan. Salawat yang tertulis dalam kitab klasik ini berbeda dengan salawat lainnya. Sebab memiliki nilai sastra tinggi, serta menarik dibaca oleh semua kalangan. Karenanya para ulama menobatkannya sebagai kitab salawat paling lengkap dan populer.
Di Aceh, Dalail Khairat dibaca oleh berbagai kalangan. Tetapi tetap menitikberatkan pada kalangan muda dan remaja sebagai pengkaderan. Dalail Khairat dibaca secara bersama-sama atau tim, dengan beragam seni dan irama. Seni bacaan Dalail Khairat tersebut membuat masyarakat Aceh, khususnya pemuda tertarik mengikuti kegiatan amal tersebut, dan terus melestrikan budaya islami itu.
Dahulu, hampir setiap kampung mengadakan kegiatan Dalail Khairat di meunasah-meunasah dan masjid. Jadwal kegiatan Dalail Khairat berfariasi, sesuai kesepakatan tim. Lumrahnya seminggu sekali, yang diadakan pada malam hari. Ada yang mengadakan malam Jumat, sebab dianggap memiliki keutamaan membaca salawat pada malam dan hari Jumat.
Foto: koleksi pribadi
Dalail Khairat biasanya dibimbing oleh teungku. Dalam bahasa mereka disebut syaikh. Syaikh ini membimbing cara baca dan seni irama, sehingga bacaannya terdengar serentak dan merdu.
Selain di meunasah, Dalail Khairat menjadi amalan rutin kaum santri di dayah-dayah tradisional seluruh Aceh. Bagi santri, ada manfaat tambahan bagi yang mengikuti kegiatan Dalail Khairat, yaitu membatu mereka agar lancar membaca kitab arab gundul, atau disebut juga praktik ilmu nahu dan saraf. Kecepatan mata akan terlatih, sebab pada bait-bait tertentu harus dibaca cepat, benar, dengan tetap memperhatikan tajwid.
Sering pula masyarakat Aceh mengadakan kenduri, dengan mengundang tim Dalail Khairat ke rumahnya. Harapannya mendapat berkah dan rida Allah atas lantunan dan bacaan Dalail Khairat.
Kini, semangat masyarakat Aceh terhadap Dalail Khairat telah meredup. Terutama kalangan kaum milenial. Hanya sedikit dari mereka yang peduli pada budaya Dalail Khairat, itu pun perlu sokongan dan dorongan kuat dari aparatur kampong.
Tim-tim Dalail Khairat hanya latihan saat ada even perlombaan. Atau ketika mendapat undangan tampil di televisi lokal. Jika tiada even, semangat latihan meredup. Padahal tujuan Dalail Khairat bukan untuk merebut juara, tetapi beramal memperbanyak zikir, berdoa, dan salawat seperti tertulis dalam naskah Dalail Khairat. Kegiatan Dalail Khairat sebagai wujud cinta muslim pada Rasulullah, dan mengharap syafaatnya kelak di akhirat.
Foto: koleksi pribadi
Sedangkan mayoritas para milenial cenderung menyibukkan diri dengan hal yang minim manfaat. Mereka lebih mementingkan nongkrong di warung kopi saat malam hari, bersenda gurau dengan teman, atau menyibukkan diri dengan media sosial. Bahkan ada yang kecanduan game online hingga larut malam.
Tidak bisa dipungkiri, pengaruh teknologi telah mengeruk karakter generasi Aceh. Budaya islami yang sejatinya dapat menjadikan mereka dekat dengan Allah, bahkan dapat mendatangkan rupiah jika ditekuni, justru budaya indah ini ditinggalkan.
Kaum milenial merasa tidak penting lagi pada budaya Dalail Khairat. Bahkan ada sebagian mereka tidak tahu apa itu Dalail Khairat. Jika realita ini terus dibiarkan, tidak mustahil budaya Aceh akan tinggal nama ditelan zaman.
Semua elemen masyarakat Aceh harus menitip kepedulian terhadap budaya peninggalan indatu. Para kaum milenial yang telah menjauhi Dalail Khairat harus ditarik kembali. Mereka harus dirangsang bahwa budaya itu penting sebagai peradaban sebuah bangsa.
Orang-orang yang berkiprah di bidang budaya akan menemukan jati dirinya. Mereka bisa hidup dengan budaya, dan budaya itu akan menghidupkan mereka. Misal dengan ada festival budaya di tingkat nasional dan internasional, mereka bisa tampil mempertontokan keunggulan budaya Aceh, dan pastinya ada keuntungan material yang mereka peroleh.
Ke depan, mereka lah yang akan menjaga dan memimpin Aceh. Bekal pengetahuan dan budaya harus ditanamkan, agar kekayaan budaya Aceh tetap lestari hingga anak cucu.
Di beberapa tempat, Dalail Khairat sengaja diprogramkan secara rutin dan dianggarkan dana desa untuk pelatih dan konsumsi tim Dalail Khairat. Tujuannya agar kaum remaja dan milenial tidak terpengaruh pergaulan bebas, yang bermuara pada penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan aneka kenakalan remaja lainnya. Di sini budaya berfungsi sebagai pelindung generasi.
Program unggulan lain harus dicanangkan, supaya kaum milenial berada dalam lingkaran kegiatan positif dan berakarier lewat budaya. Yang pada akhirnya, budaya Aceh akan tersebar ke seantero dunia.
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.