Aceh, Kapan Lockdown?
MARI ulang kaji UUD 1945, pasal 33 ayat 3, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Lihat juga aturan berikutnya, Pasal 34 Ayat 1, ”Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara.”
Teks tersebut memiliki falsafah mendalam. Andai direnungkan, tidak boleh ada secuil pun hasil bumi Indonesia yang dibawa pada selain kepentingan dan kemakmuran rakyat. Di sini bukan bermakna rakyat bisa ekploitasi secara privasi kekayaan alam ibu pertiwi. Tapi hasil bumi yang dikumpulkan oleh pengelola negara/pemerintah wajib disalurkan pada masyarakat sesuai regulasi dan kepentingan bersama.
Kita tidak perlu mengajari pemerintah tentang teori kemakmuran rakyat, toh mereka lebih cerdas. Yang perlu kita ingatkan bahwa negara atau undang-undang melegalkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan papan, sandang, dan pangan. Terlebih saat kondisi negara genting, entah karena perang, kelaparan, atau penyakit menular.
Jika keadaan negara atau daerah berada pada titik mengkhawatirkan, maka konstitusi melegalkan usaha-usaha penyesuaian anggaran atas nama kepentingan rakyat, bukan memperkaya diri. Tentunya harus melalui pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan pemerintah daerah, dalam hal ini bisa disebut DPRA dan gubernur Aceh.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan dalam pasal 28 ayat 3; Penyusunan prakiraan perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi, 1) Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD; 2) Keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja. 3) Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Pada ayat berikutnya (4) dijelaskan, "Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD, dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran". Bahkan negara pun dapat melakukan penyesuian anggaran dengan merujuk aturan yang sama, pasal 27. Namun di sini penulis tidak menyebutnya.
Regulasi tersebut sejujurnya dapat membuat masyarakat lega, terutama yang terimbas bencana corona. Artinya pengalihan penggunaan anggaran karena suatu keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarkegiatan, antarjenis belanja, dan antarunit organisasi dibolehkan serta tidak melawan hukum. Lebih dari itu, pejabat yang mengalihkan anggaran untuk penyesuian keadaan tidak masuk dalam ranah korupsi, selama tidak ada motif untuk memperkaya diri.
Tidak hanya itu, Aceh punya payung hukum kuat untuk penggunaan anggara secara mendadak. Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh mengamanatkan penggunaan dana Otonomi Khusus (Otsus) dalam Pasal 183, “Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Bila dikaji, amat jelas penggunaan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA), mengentaskan kemiskinan dan kesehatan. Jika dalam kondisi merebak corona masyarakat tidak bisa berkerja hingga tak mampu membiayai keluarga, berikan jaminan hidup sehat bagi mereka. Gunakan dana-dana kesehatan dan dana pemberantasan kemiskinan untuk membantu warga di masa lockdown. Toh DOKA Aceh tahun ini sangat besar, mencapai 37 Triliun lebih.
Jangan hanya bisa gunakan DOKA untuk hal-hal nihil manfaat, bahkan tak tersentuh kepentingan publik. Kali ini saja, gunaka DOKA demi menyelamatkan rakyat. Setelah itu susun kembali DOKA sesuai kehendak para penguasa. Toh rakyat sadar, selama ini DOKA memang banyak tidak pro-rakyat. Buktinya Aceh disebut-sebut termiskin se-Sumatera.
Maka ambil sikap konkrit saat isu corona terus menghantui warga. Aceh harus lockdown. Masyarakat tak perlu berpikir harus makan apa. Sebab negara melalui undang-undang menjamin kebutuhan rakyat. Hanya saja butuh keseriusan lebih dari pemimpin.
Aturan pemanfaatan anggaran demi rakyat telah ada.Hanya saja oknum pemimpin yang tidak berani mengucurkan dana untuk kebutuhan selama lockdown. Atau mereka berani, namun tidak sepakat bahwa atas nama kepentingan rakyat dan keadilan, semua kekayaan negara bisa dimanfaatkan.
Wahai penguasa, terapkan lockdown. Jangan lagi berpikir ekonomi negara akan rusak, jika tidak mau masyarakat yang rusak (akibat corona).
Kita percaya, jauh-jauh hari pemimpin Aceh telah merembuk memikirkan solusi terbaik, bahkan berbicara pentingnya lockdown. Tetapi seperti ada ketakutan pada mereka untuk aksi tutup-tutup. Harus ingat, banyak pengalaman negara-negara penderita corona yang tidak lockdown, hingga harus menerima kenyataan ribuan orang meninggal. Mestinya, jadikan pengalaman mereka untuk menyelamatkan Aceh dan isinya. Sebab pengalaman telah diakui sebagai guru paling baik.
Perlu diingat, Aceh adalah daerah yang tingkat sosialnya tinggi. Beragam kegiatan adat dan budaya terjadi hampir tiap hari. Bahkan bulan lalu saja masyarakat Aceh melaksanakan kenduri apam. Bulan ini, akan ada kenduri buruat/nisfu sya'ban. Tak hanya itu, aktifitas sosial seperti kebiasaan ngopi di warkop selalu ada. Belum lagi perhelatan pesta perkawinan yang kian marak menenjelang Ramadhan. Semua hal ini berpotensi penyebaran virus corona jika tidak diambil kebijakan strategis, lockdown.
Kebijakan untuk tetap di rumah, social distancing, work from home saja tidak cukup. Jika tidak totalitas lockdown, menutup akses asing. Karena virus datang dari luar daerah yang bersarang pada pendatang.
Aplikasikan lockdown. Aceh ini daerah istimewa, punya hak khusus untuk mengatur kepentingan masyarakat Aceh. Tidak perlu menunggu sikap pemerintah pusat, jika tidak ingin melihat rakyat merana dengan corona. Predisen boleh mengatakan pada pemerintah provinsi lain bahwa lockdown kewenangan pemerintah pusat, tapi jangan pada daerah Aceh. Sebab Aceh wilayah istimewa yang memiliki regulasi tersendiri.
Jika diperhatikan secara saksama, yang membuat pemerintah enggan memberlakukan lokcdown selama ini adalah ekonomi. Wahai bapak terhormat, dampak kehancuran ekonomi tidak seberapa jika dibandingkan dampak meninggalnya warga perlahan-lahan akibat corona.
Memang pesan langit tak pernah salah. “Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sebagian rasa takut, rasa lapar, serta kekurangan harta, jiwa, dan buah. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar". Ayat ini cukup untuk mendiskripsikan kondisi dunia, khsususnya Aceh saat ini. Jika mau lihat tafsirnya, terlalu banyak yang kena semprot, artinya susuai ayat ini.
Jalankan lockdown. Berikan makanan pada rakyat sesuai regulasi. Percayalah, negara dan Aceh ini tidak akan hancur hanya karena lockdown beberapa saat demi menekan angka kematian.
Minimnya pasokan kebutuhan pokok memang akan terjadi saat lockdown, namun akan lebih menyesakkan ketika kebutuhan pokok mencukupi tetapi nyawa rakyat terus berjatuhan.
Jangan takut ekonomi lemah dan kebutuhan pokok menurun. Kedaulatan pangan di beberapa daerah masih memadai, walau tidak sempurna. Toh pemerintah adalah orang-orang pilihan yang punya sejuta cara untuk melayani rakyat, khsusnya mengendalikan sembako. Terlebih Aceh sebagai negeri syariat yang percaya bahwa burung pergi dalam keadaan lapar, dan pulang dalam keadaan kenyang. Artinya rezeki hamba Allah jamin.
Mari sama-sama membantu dan menjaga. Pemimpin menjaga dan membantu rakyat. Rakyat membantu dan menjaga pemimpin. Yang kaya membantu yang miskin sewajarnya. Yang miskin membantu yang kaya sebisanya.
Sekali lagi, terapkan lockdown. Rakyat telah menjerit meminta semua akses ditutup. Semata-mata untuk keselamatan bersama. Dan jangan lelah berpikir untuk memberikan bantuan bagi rkayat di masa lockdown, agar dapur-dapur warga tidak ikut lockdown/tak ada makanan.
*Abu Teuming
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.