Dibalik kisruh tapal batas kampus jantong ngoen hate rakyat Aceh , ada orang hebat, disebut guru besar, bergelar profesor, berkedudukan rektor.
Kita tak perlu mengajari orang-orang yang telah habis menempuh jenjang pendidikan itu terkait batas kampus. Toh mereka lebih mahir dan memahami sejarah kedua kampus biru dan hijau tersebut.
Tapi, sebagai anak yang lahir dari rahim salah satu kampus bergengsi ini, rasanya ada ikatan batin yang membuat hati tergerak, bukan untuk menyudutkan, apalagi memvonis salah dan benar. Sebaliknya, hanya curhatan hati, tak ubah anak yang ingin ketenteraman dalam keluarga. Harmonisasi antara ayah dengan ibu.
Melihat beberapa aksi di Darussalam, seakan nilai hablumminannas telah sirna. Hubungan antara manusia tersekat. Hampir tidak ada lagi rasa lebih kurang, kurang lebih dalam urusan dunia.
Nilai saling membantu dalam kebaikan tergerus oleh kepentingan material. Kemegahan infrastuktur kampus seakan menjadi tujuan utama, mengalahkan hakikat didirikan perguruan tinggi sebagai wadah menuntut ilmu demi mencerdaskan putra bangsa, dan menciptkan manusia beradab lagi bermanfaat.
Bahkan melunturkan Tri Dharma perguruan tinggi untuk mengabdi bagi umat.
Anjuran agama agar menjadi manusia bermanfaat bagi orang lain seakan ada batasnya. Padahal berbuat baik pada sesama sangat diagungkan. Terlebih anak Aceh, yang dikenal sebagai bangsa suka menolong. Bukan hanya sesama suku, bahkan negara pun dibantu.
Sudah maklum. Melalui rute yang dipagari, biasanya mahasiswa UIN dan Unsyiah berlalu lalang dengan berbagai aktifitas. Dosen dan masyarakat setempat juga memanfaatkan jalan pintas ini dalam keseharian mereka.
Namun, sejak pemagaran, mahasiswa dan warga setempat harus berputar ke jalur lain, walau tak seberapa jauh, tapi terasa ada perbedaan.
Memang, apa yang mereka lakukan tak menyalahi hukum positif. Jika pun ada, cuma secuil aturan perhubungan yang tertindas. Tapi, yang paling nampak adalah robeknya nilai kebersamaan, buramnya nilai saling menolong dalam kebaikan, terkuburnya nilai saling bantu dalam ketaatan.
Jika tak berlebihan, ada baiknya kita amalkan prinsip saling membantu, terutama dalam mencari ilmu. Bila merujuk pada kitab Mathlaul Badrain, halaman tiga. Sangat jelas dideskripsikan keutamaan membantu atau menolong orang menuntut ilmu.
Malik bin Dinar pernah meriwayatkan hadis Rasulullah, "siapa yang menolong orang menuntut ilmu, baginya diberi surat dengan tangan kanan. Siapa yang kasih pada orang menuntut ilmu, sama halnya ia kasih pada ambia. Orang yang kasih pada ambia, maka ia bersamanya."
Masih banyak dalil-dalil agama yang mengajarkan manusia agar menjadi hamba bermanfaat bagi orang lain, walau hanya memberi segelas air putih.
Rasanya tidak etis anak yang baru memperoleh selembar ijazah di perguruan tinggi, mengajari profesor tentang adab dan berbuat baik pada sesama. Tapi, karena kita muslim, maka sangat wajar saling menasihati dalam kebaikan dan mengajak orang lain untuk gemar menolong.
Akhir tulisan, menutup jalan kampus jangan sampai menutup hati. Semoga jalan tertutup ini menjadi awal banyak terbukanya jalan lain.
*Abu Teuming
Penyuluh Agama dan Direktur LSM K-Samara
No comments
Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.