Syariat Islam bukan Penghambat Investasi

Share:

Dokumen pribadi

MASYARAKAT Ekonomi Syariah (MES) Aceh yang dipimpin Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman, menginisiasi pelaksanaan kegiatan tukar pandangan dan rangkul pendapat, dengan program kerja Focus Group Discussion (FGD). Setelah bekerja keras, panitia FGD yang diketuai oleh Tgk Tarmizi M Daud merealisasikan FGD dengan tema: Peluang dan Tantangan Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah di Aceh.

Tidah heran, Kamis 15 Oktober 2020, aula lantai empat Balai Kota Banda Aceh dipenuhi pakar ekonomi Islam, dan pecinta lembaga keuangan syariah di Serambi Mekah. Kehadiran mereka telah lama direncanakan oleh organisasi pembenci riba, yaitu MES Aceh. Terlebih, sejak dua tahun terakhir pro-kontra kehadiran qanun lembaga keuangan syariah (LKS) kian mencuat.

Setidaknya, 25 peserta ikut andil dalam FGD ini, terdiri atas unsur bank, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perwakilan pengusaha, pejuang asuransi, pengamat ekonomi, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), perwakilan Imum Mukim dan Asosiasi Keuchik Kota Banda Aceh serta perwakilan pers. Kebetulan, penulis juga berkesempatan hadirdalam majelis intelektual itu.

Dalam catatan MES dan panitia FGD, kegiatan sederhana ini penting dibahas, mengingat ada pihak yang menolak qanun LKS dan mempersoalkan legalitasnya. Selain itu, FGD bertujuan untuk memetakan permasalahan dan tantangan pelaksanaan sistem keuangan syariah dalam dunia perbankan di Aceh. Kemudian, tersusunnya pokok-pokok pikiran dan langkah-langkah kerja strategis untuk memajukan perbankan syariah dan LKS yang ada di Aceh, serta dapat merumuskan kesimpulan dan rekomendasi bersama untuk ditindaklanjuti oleh pihak terkait, dengan sistem terukur dan terstruktur demi tercapai kemajuan lembaga keuangan syariah.

Pada FGD ini, panitia menghadirkan tiga pemateri, sebagai pemantik diskusi. Penulis akan menyebutkan ketiga penyemat gelar ‘profesor” itu sesuai urutan persentasi makalah.

Dokumen pribadi


Prof Syahrizal Abbas

Pertama, Prof Dr Syahrizal Abbas MA. Rasanya, hampir tak ada masyarakat Aceh yang tidak mengenal sosok intelektual yang meraih gelar profesor saat usia muda ini. Pria yang pernah menjabat Kepala Dinas Syariat Islam Aceh mengulas materi sesuai tupoksinya, dari sisi yuridis.

Menurutnya, bila ditinjau sisi hukum, secara regulatif Aceh memiliki kewenangan yang luas dan besar. Terutama saat lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UUPA merupakan undang-undang otonomi khusus (Otsus) bagi Aceh. Meskipun padanya tidak melekat istilah Otsus, namun isinya menyebutkan kewenangan dan kekhususan Aceh, terutama penerapan syariat Islam, termasuk pembentukan lembaga LKS.

Karena itu, kehadiran qanun LKS merupakan amanat UUPA. Undang-undang memberi amanat bagi Aceh, salah-satunya implementasi syariat Islam. Penerapan syariat Islam sudah pasti (clear) dan diatur dalam konstitusi nasional.

Prof Syahrizal Abbas menambahkan, secara tidak langsung, berdasarkan undang-undang semua sisi kehidupan di Aceh harus sesuai syariat, termasuk bidang muamalah, selain akidah dan fikih. Ketika sudah ada legalitas, maka sudah berlaku unsur pemaksaan. Misalnya, legalitas lembaga keuangan syariah, maka setiap orang Islam yang berada di wilayah tertentu harus patuh pada ketentuan syariat. Persis seperti yang terjadi dan berlaku di Aceh saat ini.

Dalam sistem hukum Indonesia, apa pun yang ingin diterapkan secara permanen, mesti melahirkan aturan terlebih dahulu. Karenanya,   Pemerintah Aceh harus melahirkan qanun jika ingin melegalkan sesuatu. Sebab tanpa qanun, semua tidak bisa diterapkan. Seperti LKS tidak bisa dijalankan, jika belum lahir regulasi.

Beruntung, Aceh telah memiliki kekuatan hukum untuk mengenyampingkan lembaga keuangan konvensional, menuju lembaga keuangan syariah.


Prof Nazaruddin A Wahid

Pemateri kedua, Prof Dr Nazaruddin A Wahid MA. Materi yang disampaikan pria asal Jeunib ini  juga tidak kalah menarik, yang mampu membuka cakrawala berpikir peserta FGD, serta meyakinkan peserta bahwa LKS akan sukses dibumikan di Aceh.

Prof Nazaruddin mengurai pembahasan dari sisi konsep dan teknis pelaksanaan sistem keuangan syariah. Menurutnya, di beberapa negara ada yang menerapkan dua model palayanan keuangan pada satu bank, yaitu sistem syariah dan konvensional. Artinya masyarakat diberi pilihan untuk bertransaksi dengan bank yang disenanginya.

Namun Prof Nazaruddin menekankan bahwa konsep pelayanan dua pintu tersebut tidak bisa dijalankan di Aceh. Sebab di Indonesia tidak ada regulasi yang mengatur tentang ini. Tidak bisa perbankan memberi layanan konvensional dan syariah dalam satu kantor.

Terkait adanya sikap pesimis yang digaungkan oleh pihak tertentu, yang beralasan qanun LKS akan menghambat investasi, Prof Nazaruddin secara tegas mengatakan tidak ada literatur yang menyebutkan syariat Islam penghambat masuknya investor. Bahkan dengan keberadaan syariat Islam, justru akan menciptakan peluang investasi baru, yang berorientasi pada sistem dan produk bernilai syariah.

Memang, saat ini, sebelum lahir qanun LKS, masyarakat Aceh sudah terbiasa bertransaksi dengan lembaga keuangan konvesional. Kalau pun tidak berdarah daging dengan sistem riba, setidaknya masyarakat Aceh lebih mengenal sistem keuangan konvensional ketimbang sistem keuangan yang berasal dari langit (syariah).

Lamanya masyarakat Aceh hidup dengan transaksi konvesional menjadi salah satu tantangan penerapan qanun LKS. Selain itu, tantangan juga datang dari pihak asing dan aseng, serta orang-orang non muslim yang anti Islam.

Tetapi, ia memastikan bahwa peluang penerapan qanun LKS di Aceh sangat potensial, sebab mayoritas masyarakat Aceh beragama Islam, yang dikenal sebagai daerah kental dengan praktik keislaman. Ia memastikan, masyarakat Aceh yang menyambut LKS lebih dominan ketimbang segelintir orang yang merasa terganggu dengan sistem Islam. Realita tersebut akan membantu dan mendongkrak berkembangnya lembaga keuangan syariah di bumi Iskandar Muda.

Pada ujung penyampaian materi, Prof Nazaruddin mengajak setiap elemen masyarakat, organisasi masyarakat (Ormas) dan organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) supaya mendukung totalitas keberadaan LKS yang saat ini sedang bimbang alias galau, sebab sedang menjalani masa konversi dari bank konvensional ke bank syariah.

 

Prof Farid Wajdi Ibrahim

Nah, kini tiba pada pemateri ketiga, sosok yang telah melalangbuana se antero Aceh, baik pada momen ceramah keagamaan yang memiliki lantunan suara khas, atau momentum kegiatan formal, yaitu Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA.

Meskipun sempat menjabat rektor UIN Ar-Raniry dua periode, namun, Prof Farid Wajdi Ibrahim tidak bertindak sebagai akademisi pada kegiatan FGD ini. Tetapi, mewakili lembaga keistimewaan, yaitu Majelis Adat Aceh (MAA).

Pria asli Aceh Besar ini menyampaikan materi dari perspektif sosiologis dan kearifan lokal. Menurutnya, dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2018 ini telah merangkum nilai-nilai sosiologis dan kearifan lokal di Aceh. Persoalan di Aceh bukan hanya mesti dilihat dengan kacamata hukum, tetapi perlu pertimbangan kearifan lokal, seperti budaya islami dan syariat Islam.

Secara sosiologis, masyarakat Aceh sangat mendukung qanun LKS, cuma dalam praktiknya masih belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Solusinya, qanun LKS harus dilaksanakan sepenuhnya mulai dari produk hingga pelayanan. Sehingga, tidak berbenturan dengan pemahaman masyarakat Aceh, yang telah mengetahui halal dan haram dalam transaksi keuangan.

Pada akhir pembicaraannya, Prof Farid Wajdi Ibrahim menyarankan agar lembaga keuangan konvensional dirangkul oleh pemerintah dan masyarakat, agar mereka masuk dalam konsep keuangan syariah secara pelan-pelan. Ia juga berpesan, konsep keuangan syariah juga harus dipikirkan untuk tingkat nasional, bukan hanya lokal, supaya nasabahnya mudah melakukan transaksi sesama bank syariah.

FGD ini melahirkan sejumlah rekomendasi, di antaranya; 1) Perlu evaluasi kinerja Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik bank dan non bank; 2) Intensifkan sosialisasi qanun LKS bagi seluruh elemen masyarakat secara berkelanjutan; 3) Perlunya dukungan organisasi masyarakat (Ormas), organisasi kemasyarakatan kepemudaan (OKP), dan lembaga non pemerintah lainnya dalam menyukseskan qanun LKS; 4) Adanya peran dan dukungan penuh pemerintah dalam menyuseskan qanun LKS; 5) Perlunya Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai aturan pelaksana; 6) Keterlibatan dunia pendidikan untuk memperkenalkan konsep syariah dan model aplikasinya dalam aktifitas ekonomi masyarakat; 7) Peran mukim dan gampong dalam meningkatkan pemahaman masyarakat agar terbiasa dengan ekonomi syariah. Semoga!

Penulis Abu Teuming. Ativis FAMe dan FLP Banda Aceh

No comments

Silakan beri tanggapan dan komentar yang membangun sesuai pembahasan artikel.